Jumat, April 27, 2012

Anak Pintar Atau Anak Bahagia?: Catatan di Tengah Hiruk Pikuk UN (KOLOM HAIDAR BAGIR)

Setiap orang tua yang mendapatkan pertanyaan ini, cepat atau lambat akan menjawab: “Anak bahagia.” Tapi, apakah benar anak pintar tak mesti bahagia? Jawabannya, ya. Anak pintar belum tentu bahagia. Bahkan, anak pintar yang tidak memiliki karakter-karakter tertentu, pasti tidak bahagia. Ya, anak bahagia belum tentu pintar. Anak yang memiliki karakter-karakter tertentu, meski tidak pintar, bisa bahagia. Karakter-karakter itu terkait dengan kemampuan menghasilkan emosi-emosi positif, yang biasa disebut dengan emotional intelligence (EI atau EQ). Jangankan kebahagiaan, kesuksesan saja tak selalu ada hubungannya dengan kepintaran.

Suatu penelitian di Harvard University, atas mahasiswa kedokteran, hukum, bisnis, dan keguruan menunjukkan bahwa kesuksesan tak ada hubungannya sama sekali dengan kepintaran -sebagimana diukur dengan IQ.
Daniel Goleman menemukan: “… Kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis... Kompetensi emosional kita menunjukkan berapa banyak potensi kita yang telah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa dipakai saat bekerja. Clifton dan Rath percaya bahwa emosi positif merupakan kebutuhan penting sehari-hari untuk kelangsungan hidup, dan untuk hidup bahagia."
“Waduh! Bagaimana, dong?!” Jangan khawatir. Jika dibarengi dengan kepemilikan karakter-karakter tertentu, kepintaran membantu kebahagiaan. Orang pintar yang memiliki karakter-karakter tertentu itu masih punya peluang bahagia lebih besar dibanding yang kurang pintar.
Masalahnya,, mendorong anak untuk pintar, dengan cara-cara yang tidak bijaksana (push parenting atau push teaching), bisa menyebabkan anak kehilangan peluang untuk memiliki karakter-karakter yang mendukung kebahagiaan. Kenapa? Karena cara-cara yang tidak bijaksana untuk mendorong anak jadi pintar bisa bertentangan dengan cara-cara untuk mengembangkan karakter yang mendukung kebahagiaan.
Menurut Daniel Goleman, karakter-karakter itu adalah :
     Self Control: Kemampuan untuk mengelola emosi dan impuls yang mengganggu,,secara efektif.
     Trustworthiness: Kejujuran dan integritas.
     Conscientiousness: Keteguhan dan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban.
     Adaptability: Fleksibilitas dalam menagani perubahan dan tantangan.
     Innovation: Keterbukaan terhadap ide-ide, pendekatan, dan informasi baru.
Sedangkan menurut psikologi positif (positive psychology), karakter-krakter itu adalah :
     Wisdom and Knowledge: Kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, cinta belajar, perspektif, inovasi.
     Courage: Keberanian, ketekunan, integritas, vitalitas.
     Humanity: Cinta, kebaikan, kecerdasan sosial.
     Justice: Kewarganegaraan, keadilan, kepemimpinan.
     Temperance: Pengampunan dan kemurahan, kerendahan hati, kebijaksanaan, kontrol diri.
     Transcendence: Apresiasi terhadap keindahan dan keunggulan, rasa syukur, harapan, humor, spiritualitas.

Sayangnya, terkadang kita harus memilih antara mendorong anak untuk pintar, dan mendorong anak untuk memiliki karakter-karakter yang dapat menentukan kebahagiaan mereka. Kita memang perlu waktu banyak untuk menanamkan karakter-karakter ini sampai ia menjadi habit. Lebih dari itu, proses ini membutuhkan penciptaan  suasana yang nyaman dan menenteramkan. Sudah pasti suasana seperti ini tak diperoleh dengan terburu-buru dan pemaksaan.         
Tak kalah pentingnya, kita juga perlu memastikan self esteem (harga diri) anak agar terus terpelihara. Hak ini merupakan syarat utama, bahkan bagian dari tjuan pendidikan untuk menanamkan karakter-karakter ini. Studi dari  Dr. Elizabeth Hurlock menunjukkan pentingnya menerapkan psikologi positif di sekolah dan keluarga. Mengabaikan atau mengkritik siswa dapat menghambat pendidikan mereka. Emosi positif memungkinkan individu untuk belajar dan bekerja dengan kemampuan mereka yang maksimal.
Dr. Elizabeth Hurlock menyimpulkan hal ini dari sudi yang pernah dilakukannya. Ini merupakan studi yang dilakukan terhadap siswa anatar kelas empat sampai enam. Studi itu dilakukan untuk melihat bahwa pujian, kritik dan sikap tak acuh guru terhadap kerja siswa bisa berefek pada siswa itu. Hasilnya ditentukan oleh dari hasil kerja murid terhadap soal matematika dalam beberapa hari. Anak-anak yang mendapat nilai tinggi, dipanggil dan dipuji di depan kelas. Mereka yang dapat nilai buruk, secara terbuka dimarahi di depan kelas. Sedangkan mereka yang dapat nilai sangat buruk, diabaikan. Hasilnya, siswa yang dipuji meningkat dengan 71%, siswa yang dikritik meningkatkan kinerja mereka dengan 19% dan mereka yang diabaikan meningkat sebesar 5%.
Selain itu, untuk membesarkan anak berkarakter, kita juga perlu memberikan ruang seluas-luasnya untuk anak berekspresi, dan membuat kesalahan-kesalahan. Juga untuk belajar apa yang dia senangi.  Dan untuk bermain-main serta bersosialisasi, agar dapat terus belajar keterampilan sosial. Kita juga perlu memberikan ruang seluas-luasnya bagi mereka untuk aktif dalam berorganisasi, untuk punya waktu cukup menjalani hobinya, untuk belajar agama dan spiritualitas, untuk dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas menolong orang lain, untuk dibawa ke tempat orang-orang yang kurang beruntung agar punya rasa syukur dan untuk belajar seni serta mengapresiasi keindahan
Nah, untungnya, emosi positif dapat menular. Sehingga, memiliki orang tua, anggota keluarga, teman, guru, murid, atau siapa saja di dekatnya yang positif, maka itu dapat membantu siswa untuk menjadi positif dan bekerja dengan kemampuan mereka yang terbaik. Sebaliknya, jika ada satu orang yang negatif, maka itu dapat merusak seluruh suasana positif dalam suatu lingkungan.
Kesimpulan yang lain, menurut Clifton dan Rath, 99 dari 100 orang lebih suka berada di sekitar orang positif. Mereka percaya bahwa mereka bekerja lebih produktif ketika mereka berada di sekitar orang positif. Memang, seberapa pintar seseorang, hanyalah orang yang memiliki emosi positif yang akan disukai dan dicintai oleh orang lain. Inilah modal utama untuk sukses di mana saja, sekaligus untuk hidup bahagia.
Maka, marilah kita ubah paradigma kita dalam mendidik anak, dan memfokuskan proses pendidikan kepada pemenuhan syarat-syarat untuk bahagia, ketimbang sekadar untuk pintar. Marilah kita menekankan proses pendidikan pada penanaman karakter-karakter positif anak. Mari juga menjadi orang tua yang selalu memfasilitasi suasana yang nyaman bagi anak-anak kita, selalu memelihara harga diri mereka, dan selalu member ruang seluas-luanya bagi anak-anak kita untuk mencoba dan salah. Hanya dari itu semualah, kreativitas bisa lahir. Dan hanya dengan kreativitas, kita bias unggul berharap banyak kebahagiaan hidup menanti anak-anak kita.
Karena, jika bukan kebahagiaan, apalagi yang dicari orang tua untuk anak-anaknya?

SUMBER : http://mizan.com/index.php?fuseaction=plong&id=43

Kamis, April 12, 2012

LANCAR MEMBACA DI USIA DINI (Pengalaman Qaisra)

Betapa bahagia nya hati orang tua bila menyaksikan putra/putri kesayangannya sudah bisa membaca dengan lancar.  Begitu juga yang terjadi dengan putri sulung saya Qaisra Alya Safina.  Di usianya yang belum genap 5 tahun, dia sudah mampu membaca buku cerita sendiri dan menjadi pendongeng bagi adiknya Ilham Fathir (usia 2 tahun). Tentunya ini suatu prestasi pribadi yang luar biasa yang harus saya apresiasi sendiri. Karena kemampuan membaca anak saya bukan karena dia less, atau sekolah di sekolah yang terkenal dan mewajibkan harus mampu membaca dan menulis. Tetapi menurut saya ini adalah sebuah proses panjang yang saya lakukan sejak Qasira masih dalam kandungan sampai di usia 5 tahun.

Salah satu hal yang memotivasi saya untuk mengajarkan membaca sejak dini adalah suatu tayangan  dimetro tivi, saya lupa nama tanyangannya yang sangat membekas dalam ingatan saya. ketika itu saya sudah cuti bekerja untuk menanti kelahiran Putri pertama saya.  Program acara tersebut menghadirkan bintang tamu seorang ibu dan anaknya yang memiliki kelebihan bisa membaca dengan lancar di usia dini (kalo gak salah usia 4 tahun). Di dialog tersebut kemudian dibahas cara-cara ibu tersebut dalam menstimulasi ketrampilan anaknya. Di jelaskan bahwa ibu tersebut memperkenalkan buku kepada anaknya itu sejak anak mampu  melihat.  Ketika anak berusia di bawah 6 bulan, ibunya membelikan buku, flash card yang dibacakan si ibu setiap hari walaupun saat itu anak nya belum mengerti. Setelah anak sudah mulai tertarik dengan mainan, si ibu membelikan berbagai macam buku cerita yang ada gambarnya. Walaupun saat itu usia anak belum mengerti dan tidak tahu fungsi dari buku tersebut, si ibu tetap memperkenalkan buku dan mengajarkan sambil berinteraksi dengan anak. Alhasil buku-buku tersebut menjadi bahan yang sangat menarik untuk di sobek-sobek anak. Dan si Ibu menyatakan bahwa dia tidak marah kalo buku itu di robek sama anaknya. Dan dia membelikan lagi. Begitulah seterusnya. Dan bukan sedikit dana yang dikeluarkan oleh ibu ini untuk membeli buku ini. Dan kata-kata yang sangat terekam dalam ingatan saya adalah bahwa dia menyadari bahwa investasi sumber daya manusia itu biayanya mahal dan itu sangat membekas di ingatan saya.

Setelah menonton program acara tersebut, saya pun memiliki komitmen untuk memberikan melakukan hal tersebut jika anak saya lahir  nanti. Bahwa anak adalah investasi saya yang terbesar sehingga saya harus mempunyai dan menyediakan pos dana untuk itu. Untuk itu saya  banyak membaca artikel, menonton tayangan televise, membeli buku yang berkaitan degan panduan mendidik anak.

Dan keberhasilan Qaisra bisa membaca dengan lancar di usia yang belum genap 5 tahun (sebuah penghargaan buat Qaisra..ica,  Bunda tahu Ica anak Cerdas dan Hebat) tidak terlepas dari cara-cara tersebut diatas yang saya lakukan.
Adapun saya mulai melakukan yang terbaik buat anak saya sejak saya hamil. Alhamdulillah Hamil anak pertama saya bekerja sebagai surveyor ataupun peneliti. Hal ini tentunya mengharuskan saya untuk selalu banyak membaca dan menulis. Saya juga sering mengajak anak saya berdialog saat dia masih di dalam kandungan, mendengarkan music –music klasik .  Apa yang saya lakukan ini saya percayai sebagai salah satu yang mampu menstimulasi kemampuan anak saya nantinya.

Di usia kurang dari enam bulan saya sudah memperkenalkan flasch card dan membacakan setiap hari objek dan tulisan yang tertera di gambar tersebut sampai akhirnya dia mampu mengambil kartu yang saya sebutkan objeknya.  Seiring dengan kemampuannya itu flash card pun hilang satu-satu dan rusak perlahan-lahan hingga tidak ada lagi bekasnya .
Di usia setahun saya juga membelikan buku-buku board book, buku-buku cerita. Di sini pun saya juga memperkenalkan VCD Edukasi untuk Qaisra  Untuk menstimulasi Qaisra ini bukan sepanjang hari saya lakukan tetapi hanya malam hari dan saat saya libur bekerja. Saya berusaha memaksimalkan waktu yang saya miliki untuk mengasah kecerdasan nya.  Setiap malam Qaisra punya jadwal menonton VCD Edukasi paling lama setengah jam. Setelah itu kita berinteraksi dan bermain.
Di usia 2 tahun saya mulai membeli buku-buku cerita sederhana. Saya atau ayahnya dan keluarga yang lainnya mulai membacakan buku cerita.  Mulai diperkenalkan dengan alat-alat tulis dan mewarnai. Bukan sedikit dana atau biaya yang saya keluarkan untuk membeli buku ini. Di usia nya yang masih muda anak belum bisa menjaga bukunya sehingga sering robek dan rusak. Kalau sudah robek dan rusak saya tetap membelikan lagi. Saya tetap memegang komitmen bahwa investasi SDM itu pasti besar biayanya.

Selain itu saya juga menciptakan lingkungan yang mendukung anak untuk mencintai buku. saya sering membawa anak saya ke toko buku. Di rumahpun saya membiasakan diri saya membaca buku. Ayahnya sering membaca Koran atau majalah. Sehingga saat orang tuanya membaca, anak pun ikut untuk membaca.
Di usia tiga tahun saya memfasilitasi Qaisra dengan mainan huruf-huruf, buku-buku cerita, alat tulis dan sebagainya. Segala mainan atau fasilitas yang bisa merangsang kecerdasannya saya berikan. Saya tidak mempunyai waktu khusus untuk mengajari anak-anak saya,  hanya sekedarnya saja sambil bermain. Tidak ada paksaan dan tidak ada les-les tambahan apapun.

Di usia 4 tahun  saat Qaisra sudah mulai tertarik dengan televise, saya pun memasukkan dia ke TK. Tujuan saya awalnya hanya agar dia mempunyai teman dan ketergantungan nya terhadap televise berkurang. Karena untuk meniadakan televise di rumah pun saya tidak bisa melakukannya demi orang tua saya.  Di TK saat orang tua murid lainnya menuntut guru agar anaknya bisa pandai membaca, berhitung dan menulis, saya tidak menargetkan apapun kepada guru dan Qaisra. Saya hanya ingin Qaisra belajar bersosialisasi dan bermain. Oleh karenanya saya hanya memasukkan anak saya di TK Islam sederhana di dekat rumah yang uang sekolahnya hanya 60 ribu perbulan.

Di usia 4,5 tahun saya mulai membelikan buku hallo balita untuk Qasira. Awalnya saya membacakan buku ini setiap malam satu buku. Tetapi Qasira minta di bacakan lebih dari 3 buku. Terus terang saya ini menjadi dilemma buat saya. Akhirnya saya berfikir bagaimana caranya agar Qaisra bisa membaca. Oh ya sejak usia 2 tahun toko buku adalah salah satu tempat yang wajib di kunjungi setiap bulannya. Oleh karenanya selama ini kalo ke toko buku Qasira  biasanya membeli buku-buku mewarnai dan menggunting lipat. Sejak saya beli buku halo balita tersebut, saya pun ingin Qasira bisa membaca. Kemudian saya belikan buku mampu membaca dalam 42 hari dan sejenisnya. Saat itu saya mulai mengajari Qasira mengeja isi dari buku tersebut yang dimulai dari ejaan. Saat saya mengajari Qaisra membaca, di sekolah nya belum ada pelajaran membaca. Jadi saya mulai memperkenalkan huruf dan membaca terlebih dahulu kepada Qasira
Setiap harinya baik sore ataupun malam, ada jadwal mempelajari isi buku mampu membaca dalam 42 hari . satu hari satu halaman. Namun ternyata di luar dugaan saya , Qasira maunya membaca semua halaman. Tapi saya tegaskan satu hari satu halaman. Karena Qasira  merasa senang, akhirnya dia membaca sendiri buku mampu membaca dalam 42 hari tersebut.

Kebiasaan membaca buku hallo balita setiap malamnya tetap berlangsung. Tetapi saya melibatkan anak saya membaca huruf-huruf yang ada di buku cerita hallo balita tersebut. Sambil saya bombing dan saya pandu. Selang 2 bulan saya ajari Qasira membaca sendiri, di sekolah mulai diperkenalkan membaca. Akhirnya jadwal membaca nya semakin banyak. Dan saat membaca di sekolah di mulai, Qaisra sudah mampu membaca. Akhirnya saat ini Qaisra  sudah mampu membaca buku cerita yang saya beli sendiri. Alhamdulillah betapa senangnya saya. Padahal Usianya belum genap 5 tahun dan belum wajib masuk SD. Masih ada waktu setahun lagi di TK.

Ini adalah pengalaman pribadi saya yang ingin saya share sehingga para orang tua bisa merasakan kebahagaiaan yang sama seperti yang saya dan suami rasakan.  Semoga bermanfaat.

Menikah Belum Mapan? Siapa Takut?

Beberapa hari lalu di timeline fb saya ada yang memposting isinya “Beruntunglah bagi pasangan yang telah menikah dan mereka berdua memulain...