Setiap orang tua yang mendapatkan pertanyaan ini, cepat atau lambat akan menjawab: “Anak bahagia.” Tapi, apakah benar anak pintar tak mesti bahagia? Jawabannya, ya. Anak pintar belum tentu bahagia. Bahkan, anak pintar yang tidak memiliki karakter-karakter tertentu, pasti tidak bahagia. Ya, anak bahagia belum tentu pintar. Anak yang memiliki karakter-karakter tertentu, meski tidak pintar, bisa bahagia. Karakter-karakter itu terkait dengan kemampuan menghasilkan emosi-emosi positif, yang biasa disebut dengan emotional intelligence (EI atau EQ). Jangankan kebahagiaan, kesuksesan saja tak selalu ada hubungannya dengan kepintaran.
Suatu penelitian di Harvard University,
atas mahasiswa kedokteran, hukum, bisnis, dan keguruan menunjukkan
bahwa kesuksesan tak ada hubungannya sama sekali dengan kepintaran
-sebagimana diukur dengan IQ.
Daniel Goleman menemukan: “… Kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis... Kompetensi emosional kita menunjukkan berapa banyak potensi kita yang telah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa dipakai saat bekerja. Clifton dan Rath percaya bahwa emosi positif merupakan kebutuhan penting sehari-hari untuk kelangsungan hidup, dan untuk hidup bahagia."
“Waduh! Bagaimana, dong?!”
Jangan khawatir. Jika dibarengi dengan kepemilikan karakter-karakter
tertentu, kepintaran membantu kebahagiaan. Orang pintar yang memiliki
karakter-karakter tertentu itu masih punya peluang bahagia lebih besar
dibanding yang kurang pintar.
Masalahnya,, mendorong anak untuk pintar, dengan cara-cara yang tidak bijaksana (push parenting atau push teaching),
bisa menyebabkan anak kehilangan peluang untuk memiliki
karakter-karakter yang mendukung kebahagiaan. Kenapa? Karena cara-cara
yang tidak bijaksana untuk mendorong anak jadi pintar bisa bertentangan
dengan cara-cara untuk mengembangkan karakter yang mendukung
kebahagiaan.
Menurut Daniel Goleman, karakter-karakter itu adalah :
• Self Control: Kemampuan untuk mengelola emosi dan impuls yang mengganggu,,secara efektif.
• Trustworthiness: Kejujuran dan integritas.
• Conscientiousness: Keteguhan dan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban.
• Adaptability: Fleksibilitas dalam menagani perubahan dan tantangan.
• Innovation: Keterbukaan terhadap ide-ide, pendekatan, dan informasi baru.
Sedangkan menurut psikologi positif (positive psychology), karakter-krakter itu adalah :
• Wisdom and Knowledge: Kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, cinta belajar, perspektif, inovasi.
• Courage: Keberanian, ketekunan, integritas, vitalitas.
• Humanity: Cinta, kebaikan, kecerdasan sosial.
• Justice: Kewarganegaraan, keadilan, kepemimpinan.
• Temperance: Pengampunan dan kemurahan, kerendahan hati, kebijaksanaan, kontrol diri.
• Transcendence: Apresiasi terhadap keindahan dan keunggulan, rasa syukur, harapan, humor, spiritualitas.
Sayangnya,
terkadang kita harus memilih antara mendorong anak untuk pintar, dan
mendorong anak untuk memiliki karakter-karakter yang dapat menentukan
kebahagiaan mereka. Kita memang perlu waktu banyak untuk menanamkan
karakter-karakter ini sampai ia menjadi habit. Lebih dari itu,
proses ini membutuhkan penciptaan suasana yang nyaman dan
menenteramkan. Sudah pasti suasana seperti ini tak diperoleh dengan
terburu-buru dan pemaksaan.
Tak kalah pentingnya, kita juga perlu memastikan self esteem
(harga diri) anak agar terus terpelihara. Hak ini merupakan syarat
utama, bahkan bagian dari tjuan pendidikan untuk menanamkan
karakter-karakter ini. Studi dari Dr. Elizabeth Hurlock menunjukkan pentingnya menerapkan psikologi positif di sekolah dan
keluarga. Mengabaikan atau mengkritik siswa dapat menghambat pendidikan
mereka. Emosi positif memungkinkan individu untuk belajar dan bekerja
dengan kemampuan mereka yang maksimal.
Dr.
Elizabeth Hurlock menyimpulkan hal ini dari sudi yang pernah
dilakukannya. Ini merupakan studi yang dilakukan terhadap siswa anatar
kelas empat sampai enam. Studi itu dilakukan untuk melihat bahwa pujian,
kritik dan sikap tak acuh guru terhadap kerja siswa bisa berefek pada
siswa itu. Hasilnya ditentukan oleh dari hasil kerja murid terhadap soal
matematika dalam beberapa hari. Anak-anak yang mendapat nilai tinggi,
dipanggil dan dipuji di depan kelas. Mereka yang dapat nilai buruk,
secara terbuka dimarahi di depan kelas. Sedangkan mereka yang dapat
nilai sangat buruk, diabaikan. Hasilnya, siswa
yang dipuji meningkat dengan 71%, siswa yang dikritik meningkatkan
kinerja mereka dengan 19% dan mereka yang diabaikan meningkat sebesar
5%.
Selain
itu, untuk membesarkan anak berkarakter, kita juga perlu memberikan
ruang seluas-luasnya untuk anak berekspresi, dan membuat
kesalahan-kesalahan. Juga untuk belajar apa yang dia senangi. Dan untuk
bermain-main serta bersosialisasi, agar dapat terus belajar
keterampilan sosial. Kita juga perlu memberikan ruang seluas-luasnya
bagi mereka untuk aktif dalam berorganisasi, untuk punya waktu cukup
menjalani hobinya, untuk belajar agama dan spiritualitas, untuk
dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas menolong orang lain, untuk dibawa
ke tempat orang-orang yang kurang beruntung agar punya rasa syukur dan
untuk belajar seni serta mengapresiasi keindahan
Nah,
untungnya, emosi positif dapat menular. Sehingga, memiliki orang tua,
anggota keluarga, teman, guru, murid, atau siapa saja di dekatnya yang
positif, maka itu dapat membantu siswa untuk menjadi positif dan bekerja
dengan kemampuan mereka yang terbaik. Sebaliknya, jika ada satu orang
yang negatif, maka itu dapat merusak seluruh suasana positif dalam suatu
lingkungan.
Kesimpulan
yang lain, menurut Clifton dan Rath, 99 dari 100 orang lebih suka
berada di sekitar orang positif. Mereka percaya bahwa mereka bekerja
lebih produktif ketika mereka berada di sekitar orang positif. Memang,
seberapa pintar seseorang, hanyalah orang yang memiliki emosi positif
yang akan disukai dan dicintai oleh orang lain. Inilah modal utama untuk
sukses di mana saja, sekaligus untuk hidup bahagia.
Maka,
marilah kita ubah paradigma kita dalam mendidik anak, dan memfokuskan
proses pendidikan kepada pemenuhan syarat-syarat untuk bahagia,
ketimbang sekadar untuk pintar. Marilah kita menekankan proses
pendidikan pada penanaman karakter-karakter positif anak. Mari juga
menjadi orang tua yang selalu memfasilitasi suasana yang nyaman bagi
anak-anak kita, selalu memelihara harga diri mereka, dan selalu member
ruang seluas-luanya bagi anak-anak kita untuk mencoba dan salah. Hanya
dari itu semualah, kreativitas bisa lahir. Dan hanya dengan kreativitas,
kita bias unggul berharap banyak kebahagiaan hidup menanti anak-anak
kita.
Karena, jika bukan kebahagiaan, apalagi yang dicari orang tua untuk anak-anaknya?SUMBER : http://mizan.com/index.php?fuseaction=plong&id=43