Senin, Agustus 13, 2012

Renungan tentang Spritual Quotient (SQ)



Pagi ini hari Selasa tanggal 14 Agustus 2012, saya mendengarkan pembicaraan dua PNS yang bekerja di instansi Pemerintah kota. Awalnya mereka membicarakan masalah gaji, THR dan bonus yang diterima menjelang lebaran. Lama-lama pembicaraan melebar ke proyek di divisi masing-masing dan bertanya apakah banyak proyek di divisi mereka dan berapa yang didapatkan dari proyek tersebut.  Pembicaraan terus berlanjut sampai akhirnya mereka menyebutkan satu persatu nama teman-temannya yang terlibat dalam banyak proyek  dan  bagaimana teman-teman mereka tersebut sangat dengan mudahnya mengurangi anggaran proyek untuk kantong pribadinya alias korupsi. Kemudian salah seorang kaget saat temannya menyebutkan nama-nama yang terlibat di proyek tersebut dan seperti tidak percaya dia mengatakan “ bukannya si Anu itu seorang yang di kenal sangat alim? Mau juga dia melakukan itu? Apakah tidak ada perasaan malu atau gimana gitu karena dia dikenal suka memberikan khotbah atau nasehat di rumah ibadah? Banyak pertanyaan yang terlontar dari bibirnya yang menunjukkan rasa ketidakpercayaan bahwa seseorang yang dikenalnya selama ini ternyata mau berbuat/melakukan perbuatan korupsi tersebut?

Ada persepsi yang keliru yang selama ini terbangun bahwa orang yang taat dan rajin melakukan ibadah-ibadah ritual adalah seseorang yang religious dan pasti orang soleh. Tapi ternyata kenyataannya tidak seperti itu.  Kebanyakan diantara mereka yang sudah memiliki label alim, soleh dll justru banyak melakukan perbuatan tercela, menyakiti sesama, merasa benar dan sebagainya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya ternyata sangat sederhana, karena tidak memiliki Spritual Quotient (SQ)/Kecerdasan Spritual). 

Apakah SQ itu?
Secara etimologi kata “spirit” berasal dari kata latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh, jiwa, sukma dan kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam perkembangannnya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi, Para filosuf mengonotasikan “spirit” dengan (1) kekuatan yang menganimasi dan memberi energy pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan dan intelegensi, (30 makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalita, moralitas, kesucian atau keilahian).

Sedangkan kecerdasan adalah kemampuan untuk memahami sesuatu

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993) , kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang sempurna dari perkembangan akal budi untuk memikirkan hal-hal diluar alam materi yang bersifat ketuhanan yang memancarkan energi batin untuk memotivasi lahirnya ibadah dan moral.

Spritual Quotient adalah kesadaran tentang gambaran besar atau gambaran menyeluruh tentang diri seseorang dan jagat raya (imam Supriyono, 2006; 75). Menurut Danah Zohar, penggagas istilah tehnis SQ (kecerdasan Spritual) dikatakan bahwa kalo IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang didalam (telinga perasaan), maka SQ menunjuk pada “pusat diri”. Dan Marsha Sinetar mendefenisikan “Kecerdasan Spiritual adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, the is-ness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian.

Selanjutnya Ary Ginanjar Agustian mendefinisikan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah pada setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhid(integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah.

Dengan demikian berarti orang yang cerdas secara spiritual adalah orang yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiah sebagai manifestasi dari aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari dan berupaya mempertahankan. 

Jadi Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam bersi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkaviling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasarn Spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang mempunyai SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positf pada setiap peristiwa masalah bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif di manapun berada.

Melalui perenungan pagi ini saya menjadi lebih memahami dan mendapatkan jawaban mengapa orang atheis yang mengaku tidak beragama justru melakukan tindakan-tindakan yang terpuji. Jadi mengapa kita makhluk yang mengaku religious, memiliki Tuhan, melakukan ibadah-ibadah ritual justru jauh dari tindakan terpuji dalam kehidupan sehari-hari??  

Allahu a’lam bisshawab…. 

Medan

Menikah Belum Mapan? Siapa Takut?

Beberapa hari lalu di timeline fb saya ada yang memposting isinya “Beruntunglah bagi pasangan yang telah menikah dan mereka berdua memulain...