Pagi ini hari Selasa tanggal 14
Agustus 2012, saya mendengarkan pembicaraan dua PNS yang bekerja di instansi
Pemerintah kota. Awalnya mereka membicarakan masalah gaji, THR dan bonus yang
diterima menjelang lebaran. Lama-lama pembicaraan melebar ke proyek di divisi
masing-masing dan bertanya apakah banyak proyek di divisi mereka dan berapa
yang didapatkan dari proyek tersebut. Pembicaraan terus berlanjut sampai akhirnya
mereka menyebutkan satu persatu nama teman-temannya yang terlibat dalam banyak
proyek dan bagaimana teman-teman mereka tersebut sangat
dengan mudahnya mengurangi anggaran proyek untuk kantong pribadinya alias
korupsi. Kemudian salah seorang kaget saat temannya menyebutkan nama-nama yang
terlibat di proyek tersebut dan seperti tidak percaya dia mengatakan “ bukannya
si Anu itu seorang yang di kenal sangat alim? Mau juga dia melakukan itu? Apakah
tidak ada perasaan malu atau gimana gitu karena dia dikenal suka memberikan
khotbah atau nasehat di rumah ibadah? Banyak pertanyaan yang terlontar dari
bibirnya yang menunjukkan rasa ketidakpercayaan bahwa seseorang yang dikenalnya
selama ini ternyata mau berbuat/melakukan perbuatan korupsi tersebut?
Ada persepsi yang keliru yang
selama ini terbangun bahwa orang yang taat dan rajin melakukan ibadah-ibadah
ritual adalah seseorang yang religious dan pasti orang soleh. Tapi ternyata
kenyataannya tidak seperti itu. Kebanyakan
diantara mereka yang sudah memiliki label alim, soleh dll justru banyak
melakukan perbuatan tercela, menyakiti sesama, merasa benar dan sebagainya. Mengapa
hal ini bisa terjadi? Jawabannya ternyata sangat sederhana, karena tidak
memiliki Spritual Quotient (SQ)/Kecerdasan Spritual).
Apakah SQ itu?
Secara etimologi kata “spirit”
berasal dari kata latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh, jiwa, sukma
dan kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam
perkembangannnya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi,
Para filosuf mengonotasikan “spirit” dengan (1) kekuatan yang menganimasi dan memberi
energy pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan
dan intelegensi, (30 makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran (intelektualitas,
rasionalita, moralitas, kesucian atau keilahian).
Sedangkan kecerdasan adalah
kemampuan untuk memahami sesuatu
Berdasarkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1993) , kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang sempurna
dari perkembangan akal budi untuk memikirkan hal-hal diluar alam materi yang
bersifat ketuhanan yang memancarkan energi batin untuk memotivasi lahirnya
ibadah dan moral.
Spritual Quotient adalah
kesadaran tentang gambaran besar atau gambaran menyeluruh tentang diri
seseorang dan jagat raya (imam Supriyono, 2006; 75). Menurut Danah Zohar,
penggagas istilah tehnis SQ (kecerdasan Spritual) dikatakan bahwa kalo IQ
bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang
didalam (telinga perasaan), maka SQ menunjuk pada “pusat diri”. Dan Marsha
Sinetar mendefenisikan “Kecerdasan Spiritual adalah pikiran yang mendapat
inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, the is-ness atau
penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian.
Selanjutnya
Ary Ginanjar Agustian mendefinisikan bahwa kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberi makna ibadah pada setiap perilaku dan kegiatan melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif),
dan memiliki pola pemikiran tauhid(integralistik) serta berprinsip hanya karena
Allah.
Dengan demikian
berarti orang yang cerdas secara spiritual adalah orang yang mampu
mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiah sebagai manifestasi dari aktifitasnya dalam
kehidupan sehari-hari dan berupaya mempertahankan.
Jadi Kecerdasan ini bukan
kecerdasan agama dalam bersi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia
dan sudah menjadi terkaviling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasarn Spiritual
lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang mempunyai SQ tinggi mampu
memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positf pada setiap peristiwa
masalah bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif
itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang
positif di manapun berada.
Melalui
perenungan pagi ini saya menjadi lebih memahami dan mendapatkan jawaban mengapa
orang atheis yang mengaku tidak beragama justru melakukan tindakan-tindakan
yang terpuji. Jadi mengapa kita makhluk yang mengaku religious, memiliki Tuhan,
melakukan ibadah-ibadah ritual justru jauh dari tindakan terpuji dalam
kehidupan sehari-hari??
Allahu a’lam
bisshawab….
Medan