Pertanyaan di atas terus
menghantui hidupku dan memberikan rasa was-was di hatiku apakah aku mampu
bekerja dengan baik sekaligus mendidik anak-anakku dengan baik (memiliki
perilaku dan akhlak yang baik). Hal ini semakin membuat tersiksa saat aku mulai
mengenal ilmu parenting dan banyak membaca buku-buku panduan mendidik dengan
baik. Ditambah dengan ulasan-ulasan dari pakar parenting islami yang membawa
ayat-ayat Al-Qur’an dan menempatkan sebaik-baik ibu adalah berada di rumah dan
menjadi madarasah pertama anaknya. Belum lagi nyinyiran di media social yang
mengecam ibu bekerja dan mengagung-agungkan ibu yang tidak bekerja dan full di
rumah.
Serasa diri ini adalah seorang
ibu yang jahat, egois, tidak baik, ibu tidak terhormat, lebih mementingkan
dunia dan sebagainya. Kepala mau pecah rasanya saat cemohan-cemohan terhadap
ibu bekerja yang seolah-olah dan sekonyong-konyong dilabelkan tidak mampu
mendidik anak dengan baik karena ibu bekerja tidak memiliki waktu banyak dengan
anak-anak. Kemudian muncul lagi ulasan-ulasan yang membahas bahwa kuantitas
waktu bukan ukuran yang penting kualitas waktu bersama anak yang membela ibu
bekerja. Jujur ini menjadi salah satu penyejuk di hati bahwa ternyata ibu
bekerja bisa memaksimalkan waktu dengan tidak mengabaikan bahwa kuantitas waktu
juga penting.
Sekian lama bergejolak perasaan
bahwa saya tidak menjadi ibu yang baik karena bekerja, dan keinginan untuk
terus resign yang membuat kadang sering merasa uring-uringan tidak menentu. Akhirnya
setelah sekian banyak saya membaca buku terkait buku-buku parenting untuk ibu
yang tidak bekerja dan parenting untuk ibu yang bekerja akhirnya saya bisa
berdamai dengan diri saya sendiri. Saya berusaha menerima keadaan bahwa saya
memang tidak bisa resign saat ini. Meskipun saya kadang menangis saat anak saya
hampri setiap hari di kala bangun pagi “ Bunda, hari ini libur atau tidak? Dengan
perasaan berkecamuk di dada dan senyuman di wajah saya menjawab “Hari ini masih
bekerja sayang, insya Allah beberapa hari lagi libur ya Nak.” Sambil memeluk
dan mencium dan berusaha agar air mata ini tidak tumpah. Dengan cerianya anak
saya menghitung di jari manisnya berapa lama lagi saya akan libur dan menemaninya.
Tentu setiap ibu bekerja akan
merasakan perasaan yang sama seperti yang saya rasakan. Tidak ada satupun ibu
yang waras di dunia ini yang tidak ingin mendidik anaknya menjadi anak yang
berakhlak mulia begitupun dengan ibu bekerja.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri
fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak ibu bekerja yang menyerahkan
pendidikan anaknya murni ke sekolah dan ke asisten rumah tangga. Ketika anak
sudah disekolahkan di sekolah yang mahal maka menjadi tugas sekolah untuk
mendidik anaknya dengan baik, sedangkan para ibu bekerja lepas tangan sama
sekali dan hanya tahu menuntut anak-anaknya untuk belajar yang rajin tanpa
peduli dengan perasaan anak-anaknya apakah hari ini mereka senang, sedih,
berduka, bahagia, pusing, bingung dan sebagainya. Pulang bekerja ibu hanya menanyakan PR yang
belum diselesaikan. Jika anak meminta perhatiannya langsung memanggil asisten
rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan si anak. Akibatnya anak merasa tidak
diterima kehadirannya dan dipahami perasaan orang tuanya dan banyak anak yang
mengaktualisasikan perasaan kecewanya kepada hal-hal yang negatif misalnya berperilaku
membangkang perintah orang tua, berbohong, mencuri, merokok, pengguna narkoba,
dll.
Kenyataan di atas juga yang
membuat saya khawatir terhadap perilaku anak saya. Oleh karena itu saya
berusaha menemukan pola tersendiri dengan banyak membaca mengenai parenting sehingga
walaupun saya bekerja saya masih memiliki waktu untuk mendidik anak-anak saya
sendiri dan memiliki kedekatan emosional dengan mereka.
Ada beberapa hal yang saya
lakukan :
Pertama menguatkan visi misi
berkeluarga. Saya dan suami membahas sebenarnya mau ke mana rumah tangga ini di
bawa. Kami merumuskan tujuan bersama. Setelah itu kami mendiskusikan jalan
keluar untuk mencapai tujuan itu dengan segala kelemahan yang kami miliki.
Kedua Saling Bekerjasama, Berkomunikasi dan
Berdiskusi untuk mencapai tujuan bersama. Beruntungnya saya dan suami memiliki
visi misi yang sama. Karena saya dan suami bekerja, suami dengan sukarela
membagi urusan domestic dalam hal ini mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mendidik
anak-anak. Karena jam kantor saya lebih kaku dibandingkan suami, maka untuk
urusan yang saya tidak bisa di handle oleh suami. Ketika suami tidak bisa maka
giliran saya minta ijin atasan untuk mendampingi dan mengurus rumah tangga dan
anak-anak. Jadi waktu untuk menemani dan mendampingi aktivitas anak-anak di
sekolah dan dirumah selalu didiskusikan siapa yang paling memungkinkan bisa
mendampingi mereka saat jam kantor dengan menimbang urusan pekerjaan yang tidak
bisa ditinggalkan. Begitu juga misalnya saat saya atau suami dinas keluar kota,
maka kami akan membicarakan hal-hal terkait dengan anak-anak. Kalo memang tidak
bisa minta ijin dari atasan maka saya atau suami akan mengambil cuti tergantung
dengan situasi pekerjaan masing-masing.
Tapi sepanjang pengalaman saya kalo sering ijin atasan juga tidak enak,
maka saya atau suami akan mengambil cuti untuk kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan pendampingan orang tua. Apapun itu semua didiskusikan dengan baik.
Ketiga melibatkan keluarga besar.
Salah satu yang membuat saya bersyukur karena saya tinggal dengan ibu dan adik
saya juga dekat dengan adik ipar, maka kami sangat terbantu sekali dengan
keterlibatan mereka mendampingi anak-anak kami baik di sekolah maupun di rumah.
Bagaimanapun saya tetap lebih merasakan kelegaan dan kenyamanan bila anak-anak
di tinggal dengan keluarga. Saya masih bisa merasakan perasaan tidak nyaman
saat anak di asuh asisten rumah tangga saja tanpa ada yang mendampingi dan saat
anak saya di titipkan di penitipan. Hal yang saya lakukan setiap pulang kerja baik
saat anak saya dengan asisten rumah tangga, saat di penitipan, maupun sama
nenek dan adek-adek saya biasanya saya akan menanyakan perasaan mereka hari
ini, apa saja yang anak-anak lakukan di rumah, apa yang membuat mereka merasa
lebih senang, sedih dan tidak nyaman. Sehingga kebiasaan bercerita saat saya
dan suami pulang kantor menjadi sesuatu yang mereka nanti-nantikan. Sekarang
tanpa diminta anak-anak akan menceritakan apa yang mereka alami sepanjang pagi
hingga sore sebelum saya pulang. Dan kami pun merespon dengan pembicaraan yang
panjang bahkan temanya bisa melebar menyimpang dari aktivitas yang mereka
lakukan sebelumnya. Dan hal ini yang paling kami sukai, karena rumah bakalan
ramai dengan intonasi, mimik, tanggapan-tanggapan yang kadang membuat wajah
tersenyum, keheranan, kekaguman, kesedihan dan sebagainya. Dan tanpa disadari
pembicaraan dengan anak-anak menjadi relaksasi dari kejenuhan pekerjaan di
kantor. Tiada yang paling menyenangkan melihat anak-anak antusias bercerita
dengan gaya bercerita khas masing-masing.
Keempat Menyediakan berbagai
jenis buku di rumah. Sebagai anak yang kedua orangtuanya juga bekerja membuat
saya jadi bisa merasakan apa yang dirasakan anak-anak saya. Oleh karena itu
saya ingin anak-anak mempunyai teman
lain yaitu buku-buku yang saya perkenalkan sejak mereka masih bayi. Karena apapun itu saya tidak bisa
bohong kalau anak-anak merasa kesepian. Untuk itu saya menyediakan budget
setiap bulan untuk membeli buku-buku. Baik di beli satuan maupun yang paket, Di
beli secara cash, cicilan ataupun arisan. Sampai saat ini kalo di hitung-hitung
budget untuk buku anak-anak lebih besar dari budget saya membeli baju, tas,
sepatu dan lain-lain. Karena saya sudah merasakan banyak manfaat membaca buku,
maka saya ingin anak-anak juga merasakan hal yang sama dan saya menciptkan
lingkungan agar anak gemar membaca. Mulai saat bayi saya membacakan buku-buku
sebelum tidur, saat santai dan kapanpun mereka mau. Saya juga berdongeng dengan
intonasi yang membuat anak-anak senang, mimik yang mendukung dan sebagainya.
Apakah saya seorang pendongeng? Sebenarnya saya sangat pemalu dan tertutup
tetapi demi anak-anak saya belajar bagaimana cara mendongeng. Mungkin saya
bukan pendongeng yang baik, tapi setidaknya usaha saya berhasil membuat
anak-anak selalu ingin mendengar saya mendongeng. Itu salah satu indicator bahwa
usaha saya tidak sia-sia. Ternyata usaha saya tidak sia-sia pengenalan terhadap
buku dan kegiatan mendongeng sudah mulai terlihat. Anak-anak saya tiada hari
tanpa membaca. Ketika mereka telah bosan bermain-main mereka akan masuk ke
kamar dan mengambil buku. Dan saat pulang kantor maka saya dan suami akan
menyaksikan pemandangan luar biasa, kamar penuh dengan buku, ada yang di atas
tempat tidur, di lantai, menumpuk di berbagai sisi. Saya merasakan senang
karena anak-anak berarti membaca buku tapi kadang kalo lelah saya merasa
jengkel dan menarik napas panjang menghilangkan kejengkelan dan bersama
anak-anak mengembalikan buku-buku tersebut ketempatnya. Tapi itu dulu, saat ini
kami telah membuat perjanjian bahwa selesai membaca anak-anak harus
mengembalikan buku-buku ataupun mainan ke tempatnya semula. Dan berhasil diusia
anak pertama 8 tahun dan anak kedua 5 tahun mereka sudah mampu bertanggungjawab
dengan perbuatannya. Dan ini bukan pekerjaan semalam, memupuk rasa tanggung
jawab anak satu demi satu.
Kelima Saya memilih sekolah yang
memiliki visi misi yang sama dan bisa bekerjasama dengan kami orang tua dan
anak-anak. Akhinya kami menemukan sekolah semi home schooling dengan metode
pembelajaran melibatkan 80 persen keterlibatan orang tua dalam proses belajar
mengajar anak baik di sekolah maupun di rumah. Untuk Banda Aceh tidak mudah
menemukan sekolah yang mengerti anak dan orang tua. Kurikulum yang fleksibel, aktivitas out door
yang menyenangkan, metode mengajar yang beragam dan menyenangkan,
project-project otomatis membuat kami lebih terikat dengan anak. Tetapi hal ini
membuat saya senang. Karena saya menemukan partner yang mampu menerjemahkan
visi misi saya dan menajadi partner saya dan suami saat kami bekerja. Kedekatan
saya dengan anak tidak hilang, meskipun saya dan suami harus pontang panting
mengatur schedule dan melupakan hobbi kami masing-masing karena pastinya kami
lebih focus untuk kegiatan anak-anak dan selalu bersama mereka di setiap sabtu
dan minggu. Dan tentunya hidup adalah pilihan karena kami memilih untuk selalu
bersama dengan anak-anak di waktu libur dan mengurangi aktivitas
kongkow-kongkow dengan teman sejawat. Kalopun ada reunian dengan teman-teman
jika memungkinkan anak-anak tetap harus dibawa. Ini salah satu komitmen kami
untuk mengoptimalkan waktu libur bersama tanpa meninggalkan anak-anak. Beruntungnya
kami menemukan guru-guru yang dapat diajak kerjasama dan menemukan keluarga
baru dari para orang tua murid lainnya yang memiliki visi misi yang sama
menjadikan hubungan ini tidak hanya sebatas hubungan teman anak di sekolah
tetapi sudah seperti bagian dari keluarga sendiri. JIka yang lain bahagia maka
kita bahagia tetapi jika yang lain sedih maka kita juga turut merasakannya.
Tapi tidak mudah menjalin hubungan ini tetap ada saja yang tidak bisa merangkul
semuanya. Dan hal itu tidak menjadi suatu keharusan karena ini adalah hal yang
alamiah karena tidak mungkin kita bisa membuat semua orang menyukai kita dan
kita juga tidak mungkin bisa menyukai semua orang. Yang harus dijaga adalah
bahwa kita tidak pernah berniat untuk melukai dan menyakiti siapapun dan
menjaga agar jangan sampai terjadi.
Keenam Memiliki tim yang solid di
tempat kerja. Mau tidak mau kita membutuhkan teman solid di tempat kerja kita. Karena
apapun mereka lah yang akan mengerti dan mau memback up kita saat kita butuh
ijin dari kantor dan mau mengambil alih pekerjaan kita saat kita tidak berada
di kantor. Karena kita tidak bisa hidup sendiri, urusan kita bukan hanya urusan
pekerjaan saja tetapi juga urusan rumah tangga dan sosial. Jadi kita juga harus
bisa memiliki sifat saling menolong dan empati satu sama lain. Dan saya
bersyukur karena diberikan teman-teman yang penuh pengertian dan baik-baik. Meskipun
saya merasa orang yang susah bergaul dan beradaptasi, tapi saya tetap berusaha
untuk tetap bisa berkomunikasi dengan baik. Dan ternyata usaha saya berhasil,
karena saat saya bilang saya tertutup orangnya, teman-teman saya pada tidak
percaya. Artinya saya sudah mampu mengatasi kelemahan saya yang tidak diakui
oleh orang lain dan ini bukan perkara yang mudah. Karena saya harus keluar dari
diri saya sendiri yang sebenarnya lebih menyukai kesendirian. Dan senang karena
usaha saya untuk dapat berinteraksi dengan baik ini akhirnya membuahkan hasil
dan saya banyak mendapat teman-teman yang bukan sekedar baik tapi memang baik
ditempat kerja dimanapun saya berada. Saya percaya bahwa kalo kita baik maka
balasan yang kita dapatkan juga kebaikan, karena apa yang kita tabur itulah
yang kita tuai.
Ketujuh NO SIARAN TV DI RUMAH. Ini
saya buat huruf besar karena ternyata memang sangat berpengaruh sekali dalam
pembentukan karakter dan perilaku anak. Keluarga kami baru setahun meniadakan
siaran TV di rumah. Awalnya sangat sulit melakukan hal ini karena ada orang tua
di rumah yang saya merasa tidak enak kalo saya meniadakan TV di rumah. Saya kasihan
kepada ibu saya karena kalo tidak ada siaran TV akan merasa kesepian. Ternyata
tidak hanya ibu saya saja yang menonton tetapi anak-anak juga. Dan mereka
sering menirukan adegan, iklan atau apapun yang mereka tonton dan ini membuat
saya semakin khawatir. Anak-anak sangat sulit diajak bicara dan banyak meniru
perilaku di adegan sinetron baik mimik wajah saat marah, sedih, intonasi suara
ketika marah dan nangis, kata-kata yang dikeluarkan dan semakin meyakinkan saya
bahwa keadaan ini sudah gawat darurat. Memang masih bisa diajak bicara tetapi
membutuhkan waktu lama untuk membuat situasi kembali normal.
Karena saya dan suami bekerja maka kami tidak
bisa mengontrol penggunaan TV.
Pengurangan ini kami lakukan secara bertahap. Pertama dengan membatasi
siaran-siaran TV yang boleh di akses. Tapi ternyata tidak berhasil juga, karena
iklan yang ditayangkan juga banyak yang tidak mendidik. Kami juga mengganti
dengan CD-CD yang edukatif tapi anak-anak tetap juga menonton siaran TV jika
sudah bosan dengan CD. Selanjutnya usaha
kami mencabut kabel yang menyambungkan dengan tiang TV, tapi gak berhasil juga.
Karena menurut saya situasi sudah gawat dan kalo dibiarkan akan menjadi bahaya
karena anak menjadi individu yang memiliki kepribadian ganda. Di sekolah
menjadi anak yang baik tetapi di rumah kelakuannya seperti di sinetron. Akhirnya
kami memutuskan untuk no siaran TV dan sekalian TV pun dijual. Ternyata dengan
tiadanya TV bukan anak-anak yang susah tapi orang tua, termasuk suami yang
awalnya berat karena tidak bisa menonton siaran sepakbola, olahraga, berita di
rumah. Dan tentunya ibu saya juga sedih. Tapi saya dan suami harus memilih
menyelamatkan anak-anak kami atau mengikuti kesenangan orang dewasa dengan
mengorbankan perilaku mereka menjadi tidak terarah.
Dan akhirnya saya sangat lega
karena berhasil menyingkirkan TV di rumah. Dan ini membawa dampak positif bagi
anak saya. Waktu mereka bermain dengan teman-temannya di luar rumah, di alam,
bermain permainan tradisional, membaca buku menjadi lebih banyak frekuensinya. Bahkan
bermain congklak menjadi favorit anak saya dan ibu saya. Bahkan yang membuat
terharu, ibu saya juga jadi mempunyai waktu membaca buku dengan anak-anak dan
untuk dirinya sendiri. Bahkan kami sekeluarga setelah sholat isya sering
bermain bersama main ludo, main congklak, main mainan yang di bawa anak kami
dari sekolah dan diajarkan, membaca bersama, berdongeng, bermain kuda-kudaan,
menghapal ayat qur’an bersama dan tertawa bersama. Tanpa siaran TV menjadikan hidup kami lebih
berwarna dan ceria dengan berbagai macam aktivitas bersama yang dilakukan
dengan riang dan gembira.
Kedelapan Sabtu Minggu orang tua
adalah milik anak. Khusus untuk sabtu minggu dimana tidak ada kegiatan dari
sekolah anak-anak maka kami akan menghabiskan waktu bersama baik keluar rumah
ataupun di rumah. Mulai dari bangun pagi kami jalan-jalan pagi, sarapan
bersama, aktivitas di rumah bersama, bermain bersama, membaca bersama, bercanda
hingga jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat yang menarik. Dikarenakan komitmen
ini sampai-sampai suami saya dianggap hilang dari peredaran oleh
teman-temannya. Karena dulunya sebelum menikah suami saya adalah salah satu
ketua organisasi kemahasiswaan tingkat provinsi tiba-tiba setelah menikah tidak
aktif di organisasi manapun dan jarang duduk di warung kopi dengan teman-teman
seangkatannya. Dan mungkin ada yang mengangap kasihan suami saya karena karir
politiknya mati dikarenakan tidak sering kongkow dengan para politikus negeri
ini. Tapi bagi kami hidup ini adalah sebuah pilihan. Kami memilih untuk
mendampingi tumbuh kembang anak-anak kami sampai mereka mampu menjalankan peran
peradabannya dan memilih jalur pendidikan dan social untuk pengabdian kami. Dan
kita masing-masing harus menghargai pilihan hidup orang lain karena kita hidup
dengan misi masing-masing dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada peran
yang paling dominan dan paling terhormat. Karena sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi manusia di sekitarnya.
Dan melalui tulisan ini saya berbagi kepada para ibu bekerja bahwa ketika kita
tidak mampu resign dari pekerjaan kita dengan berbagai macam alasan maka bukan
berarti kita tidak bisa menjadi ibu yang baik dalam mendidik anak-anak kita.
Karena ibu bekerja dan tidak bekerja bukan jaminan mampu mendidik anak dengan
baik. Karena banyak juga kita jumpai bahwa ibu rumah tangga tanpa bekerja pun
belum tentu mampu mendidik anak dengan baik. Pilihan itu ada di kita apakah
kita mau dan mampu melakukannya dengan segala keterbatasan dan usaha keras
kita.
Apapun pilihan kita bekerja atau
menjadi ibu rumah tangga tetaplah belajar dan selalu belajar. Banyak membaca,
diskusi dan menganalisa tentang cara-cara yang terbaik buat keluarga kita
dengan kondisi keluarga kita tentunya. Karena tidak semua metode cocok
diterapkan tetapi kita tahu dasarnya. Jika kita membaca, mencoba mempraktekan,
menganalisa maka dengan sendirinya kita akan menemukan metode yang cocok untuk
mendidik anak kita dengan situasi kita masing-masing.
Apakah saya sudah menjadi ibu
yang baik dalam mendidik anak-anak saya? Saya tidak membutuhkan jawabannya
Karena saya akan melakukan usaha terbaik saya dengan kondisi saya bekerja untuk
mampu mendidik anak-anak saya dengan baik. Dan tak lupa saya berdoa agar Allah
memampukan saya untuk menjaga amanahnya dan menolong saya disaat saya tidak
mampu dan putus asa dari ketidakmampuan dan keterbatasan saya. Saya yakin Allah
akan memberikan yang terbaik kepada kita karena Allah melihat kerja keras kita
dan kesungguhan kita. Allah sesuai dengan persangkaan hamba-Nya. Jika kita
yakin Allah akan membantu kita, makan kita akan merasakan pertolongan itu sangat
dekat dan nyata.
Dan saat ini saya merasakan,
anak-anak saya selalu memeluk, mencium dan mendekap saya. Dan saya bisa
merasakan kecintaan mereka dan saya juga berharap mereka juga merasakan
kecintaan dan usaha sungguh-sungguh dari saya untuk menjadi ibu yang baik. Dan
kita pasti tahu di balik suksesnya seorang suami ada support dari istri dan sebaliknya
di balik suksesnya seorang istri maka ada support suami di sana. Dan salah satu
keberuntungan saya memiliki suami yang mensupport saya dalam rumah tangga dan
karir pekerjaan saya.
Ini adalah langkah-langkah utama
yang saya lakukan sebagai ibu bekerja dan juga berusaha mendampingi tumbuh
kembang anak saya dengan baik. Ini bukan justifikasi bahwa ibu bekerja bisa
mendidik dengan baik. Ini adalah usaha dari seorang ibu bekerja yang tidak bisa
resign dengan berbagai alasan tetapi berusaha untuk menjadi ibu yang baik bagi
anak-anak dengan segala keterbatasan dan potensi yang ada di dirinya. Mudah-mudahan
bisa menjadi inspirasi bagi ibu-ibu bekerja bahwa kita bisa melakukan yang
terbaik sepanjang kita mau, belajar dan terus bekerja keras untuk menemukan
formula yang tepat. Akhirnya semangat buat para ibu bekerja, kita semua sama
merasakan kegalauan yang sama dan ingin menjadi sempurna. Tapi yakinlah usaha
dan kerja keras kita menuju kesempurnaan akan berbuah manis. Hidup tetap akan
berproses, perjalanan masih panjang mengantarkan anak-anak kita menjalani peran
peradabannya. Semangat….tetap semangat…..(menyemangati diri sendiri J)