Senin, Agustus 24, 2009

Mengapa Perempuan Memilih Bercerai ???

Bercerai adalah kata-kata yang paling tidak diinginkan oleh setiap pasangan yang baru memulai berumah tangga. Bahkan dalam Islam sendiri Allah membenci perceraian meskipun boleh dilakukan. Tetapi kadang pilihan ini harus diambil sebagai satu-satunya jalan terakhir bagi kebaikan bersama walaupun dampak negatif dari perceraian tersebut juga tidak bisa diabaikan, khususnya bagi perkembangan anak-anak akibat keputusan yang diambil.

Berita dari The Globe Journal yang penulis dapatkan dari milis di Aceh Institute pada tanggal 13 Agustus 2009, Ketua Mahkamah Syariah Banda Aceh Drs Salahuddin Mahmud melalui panitera muda hukum Basri menyebutkan, perkara perceraian yang diajukan oleh pihak istri kepada suami (cerai gugat) setiap bulan menunjukkan angka yang sangat dilematis. Dari Januari hingga Juli 2009 ini kasus cerai gugat mencapai 100 kasus. Sedangkan kasus cerai talak yang dilayangkan suami hanya 38 kasus. Ada beberapa pendapat dimilis meminta para wartawan untuk mengulas penyebab dari gugat cerai tersebut, sehingga tidak ada kesan untuk menyudutkan perempuan karena mengajukan gugat cerai.

Hal ini menurut penulis penting di telusuri lebih lanjut agar kasus-kasus gugat cerai memberikan pemahaman yang mendalam dan tidak menimbulkan persepsi sendiri-sendiri bagi pembaca berita tersebut. Karena dikhawatirkan hal ini menjadi alasan bagi sebagian orang untuk memojokkan perempuan dan menjelek-jelekkan serta menghambat proses perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender baik di wilayah domestic maupun public.

Teringat dengan pembicaraan penulis dengan seorang sahabat perempuan yang berkata “berdosa gak ya saya minta cerai dari suami?”. Penulis yang mendengar perkataan tersebut terkejut karena tidak pernah berfikir bahwa dia akan mengeluarkan kata-kata seperti tersebut. Karena menurut penulis cerai atau tidak sangat tidak berhubungan dengan dosa atau pahala. Tetapi berkaitan dengan kebahagiaan hidup dan masa depan. Cerai adalah pilihan kita untuk melanjutkan hidup untuk bahagia atau menerima keadaan dengan perasaan tertekan dan menyesal seumur hidup.

Pertanyaan sahabat tersebut menjadi bahan diskusi kami. Padahal menurutnya persoalan utama adalah komunikasi tidak berjalan dengan baik yang memicu dia untuk memutuskan menggugat cerai suaminya. Persoalan ini diawali saat suami kehilangan pekerjaannya dan sang istri mendapatkan pekerjaan baru dengan dukungan penuh dari suami melalui pemberian informasi, menemani melakukan pendaftaran dan ujian yang akhirnya meluluskan sang istri . Tetapi begitu istri mulai bekerja dan mendapatkan penghasilan, sang suami berubah sikap dan tutur katanya. Saat diajak untuk mendiskusikan setiap ada persoalan, dilayani dengan diam seribu bahasa dan kata-kata”terserah kamu”. Mediasi yang dilakukan tidak hanya satu cara tetapi juga dengan berbagai cara tetap tidak ada titik temu. Hingga akhirnya mengambil jalan untuk menggugat cerai suami.

Lain lagi kasus seorang sahabat yang berkeluh kesah kepada penulis karena tidak dibolehkan suami untuk bekerja dengan alasan bahwa sebelum pernikahan dilakukan sang istri sudah menyetujui tidak akan bekerja. Padahal sang istri sudah ingin bekerja karena bosan di rumah menunggu suami pulang kerja dan juga belum di karunia anak. Pilihan bekerja pun hanya sekedar mengusir rasa kebosanan dan bersosialisasi kembali dengan dunia luar. Tetapi suami dengan kukuh tetap pada pendiriannya tanpa pernah sedikitpun mengerti dan setiap kali disinggung tentang hal tersebut dengan kekuasaan yang dimiliknya segera menutup pembicaraan tersebut.

Kasus lainnya seorang sahabat memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya dengan alasan tidak ingin menyinggung perasaan suami, karena suami tidak ingin bersekolah lagi. Sementara penulis tahu bahwa sahabat tersebut mempunyai potensi dan keinginan untuk sekolah namun karena ingin menjadi istri yang shalehah harus bisa meredam keinginannya dan lebih menjaga perasaan suami. Dan masih banyak lagi kasus lainnya yang sering mematikan potensi sang istri. Dan karena alasan-alasan tertentu memilih untuk bertahan dan mengubur hidup-hidup impian-impian mereka.

Sangat disayangkan, padahal persoalan tersebut bisa menjadi bom waktu bagi perjalanan sebuah rumah tangga. Karena rumah tangga dibangun dengan pondasi yang rapuh atas dasar kekuasaan yang timpang, belas kasihan, pemaksaan kehendak bukan atas dasar saling pengertian, kasih sayang, dan toleransi. Selama perempuan tersebut masih sabar maka rumah tangga tersebut akan aman-aman saja. Tetapi jika perempuan berubah pikiran, dan laki-lakii tetap pada pendiriannya maka tunggulah kehancurannya.

Melihat kondisi di atas penulis memiliki kekhawatiran akan nasib perempuan-perempuan ke depan. Wajar saja jika kita menemukan sedikit perempuan-perempuan yang berada di level pengambil kebijakan di negeri ini. Akibatnya bisa dirasakan oleh semua perempuan di Indonesia dimana setiap kebijakan yang ada belum sepenuhnya menyentuh substansi kebutuhan perempuan dan anak. Bagaimana mungkin bisa dihasilkan keputusan yang memihak kepada perempuan jika dilakukan oleh laki-laki. Sementara laki-laki tidak bisa merasakan dan mengetahui dengan baik kebutuhan perempuan karena mereka tidak mengalaminya. Dan tentu kita akan selalu mendapatkan hasil penelitian bahwa tingkat partisipasi perempuan di dunia public akan selalu rendah. Bagaimana mungkin perempuan dapat beraktivitas di dunia public jika untuk lingkup domestic masih bermasalah?? Sebagai seorang perempuan harusnya kita menyadari bahwa peran kita tidak hanya di sector domestic tetapi kita juga diciptakan untuk melakukan peran-peran yang lebih luas lagi untuk kemaslahatan ummat.

Tetapi sebagai seorang perempuan saya bisa memahami situasi sahabat-sahabat saya di atas. Betapa sulitnya bagi seorang perempuan untuk mengaktualisasikan segala potensi dan kemampuannya jika tidak mendapatkan ijin dari sang suami. Beda kasusnya jika suami punya potensi, dia tidak perlu ijin dari istrinya, Karena seringkali laki-laki merasa bahwa penguasa dalam rumah tangga adalah suami sehingga segala keputusan ada ditangannya.

Menurut penulis Ini adalah pemahaman keliru yang mayoritas masih di anut sebagian laki-laki maupun perempuan. Laki-laki dan perempuan adalah mitra. Sebagai seorang mitra, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Untuk mencapai suatu tujuan maka mereka harus bersinergi untuk mewujudkan visi misi yang dalam lingkup keluarga pastinya menuju keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Tidak ada yang berhak untuk saling mendominasi, namun yang perlu di bangun adalah sikap toleransi, saling pengertian, diplomasi, diskusi, dan selalu menyelesaikan suatu masalah dengan bijaksana dan dapat diterima kedua belah pihak. Khususnya bagi laki-laki, jangan merasa rendah diri jika istri anda memiliki pendapat yang lebih baik dari Anda, memiliki karir atau pendidikan yang lebih tinggi dari Anda, mempunyai pendapatan lebih besar, dan ketrampilan lebih dari Anda. Seandainya Anda menghargai dan empati akan keinginan dan kelebihan yang dimiliki istri, yakinlah Anda akan mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang lebih dan tidak Anda bayangkan sebelumnya, tidak hanya dari istri dan anak anda, tetapi juga dari Allah SWT. Insya Allah saya yakin jika ini dilakukan maka tidak akan muncul niat untuk bercerai. Mungkin sebaliknya akan saling memotivasi untuk berbuat kebajikan baik dalam lingkup keluarga ataupun social.

Allahua’lam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menikah Belum Mapan? Siapa Takut?

Beberapa hari lalu di timeline fb saya ada yang memposting isinya “Beruntunglah bagi pasangan yang telah menikah dan mereka berdua memulain...