Minggu, Agustus 30, 2015

Menikah Belum Mapan? Siapa Takut?

Beberapa hari lalu di timeline fb saya ada yang memposting isinya “Beruntunglah bagi pasangan yang telah menikah dan mereka berdua memulainya dari bawah. Mensyukuri mobil mereka, karena mereka berdua pernah merasakan panas hujan dengan sepeda motor. Menyenangi spring bed baru mereka, karena mereka berdua pernah tidur bersama di atas sebuah kasur busa kecil terharu dengan rumah pribadi mereka, karena dulu mereka pernah tinggal hanya di sebuah kost. Beruntunglah para pria yang memiliki wanita yang begitu mencintai mereka dan mendampingi di saat-saat perjuangan menuju kehidupan yang lebih baik. Hari ini …belajarlah untuk menghargai pasanganmu bukan karena kekayaannya.” Dilengkapi dengan foto laki-laki dan perempuan yang tertawa gembira menaiki sepeda tua.

Saat membaca postingan tersebut, memori ini langsung membawa saya kembali menelusuri lembaran-lembaran kisah perjalanan saya untuk menuju gerbang pernikahan yang membuat saya jadi tersenyum-senyum sendiri saat mengingatnya.

Saya masih ingat bagaimana sulitnya meyakinkan orang tua saat itu bahwa saya ingin menikah hanya karena calon suami suku Aceh. Luar biasa perjuangannya sampai akhirnya disetujui karena saya selamat dari peristiwa tsunami dan orang tua saya ingin melihat saya bahagia…
Saat menikah kami memutuskan hanya akad nikah saja tanpa pesta dikedua belah pihak karena bagi kami uang itu lebih kami butuhkan untuk membina keluarga karena kami bukan berasal dari keluarga yang kaya raya. Keputusan ini sempat mendapat tantangan dari kedua belah pihak keluarga, tetapi kami tetap meyakinkan keluarga masing-masing dan meminta pengertian kedua orang tua. Kami tidak ingin terlihat mewah dalam pesta tetapi berkedok ngutang sana sini untuk membiayai pesta tersebut. Biarlah seluruh dunia mencemooh (hiperbola dikit ya) kami karna tidak pesta dan dikategorikan miskin tak apa-apa yang penting akad nikah terlaksana.

Beruntung juga kami memiliki teman yang mau membantu kami meminjamkan mobil untuk membawa dara baro ke Mesjid Baiturrahman. Ya akad nikah dilaksanakan di Aceh karena Mesjid ini saksi sejarah yang turut andil melindungi dan menjadi tempat yang menyelamatkan saya dari peristiwa tsunami dan saya ingin momen pernikahan ini berada di masjid bersejarah dalam hidup saya.

Ini peristiwa yang paling lucu dan konyol. Karena miss persepsi antara supir dengan saya, akhirnya mobil hanya mengantar kan rombongan dara baro ke masjid, tetapi saya tidak bisa di jemput karena saat itu berada di tempat rias pengantin. Akhirnya karena sudah jam menunjukkan untuk acara akad di mulai dan mobil tidak ada, saya pun meminjam mobil pick kantor dan menuju masjid raya dengan mobil pickup dengan 4 orang berada di dalam mobil saya, rias pengantin dan Bapak Kost termasuk supir. Saya masih teringat dengan tertawa khasnya bang isa yang sepanjang perjalan tertawa selalu karena melihat saya. Dia mengatakan “sepanjang hidup saya ini pernikahan paling “texas” yang saya jumpai. Dara baro sudah dandan cantik dan bagus naik mobil pick up plus empat orang di dalamnya” berdesakan lagi dan kami terus bicara sambil tertawa dengan lucu dan ntah apalah namanya. Saat menulis ini saja saya tersenyum bila mengingatnya. Waktu itu saya tidak perduli karena yang saya pikirkan saya harus tiba di masjid untuk prosesi akad nikah terserah mau naik pick up kek, becak kek, apa kek, tidak jadi soal. Baru nyadar ternyata saya cuek banget ya….pasti kalo ketemu bang isa dan dia lihat saya dia akan tertawa geli jika mengingat peristiwa itu. Ketawa dulu ah…hahahaha….

Setelah akad nikah selesai, ya sudah tidak ada acara pesta apapun. Saya dan suami menempati kamar kost suami karena saat itu memang kami tidak banyak duit. Dikamar yang pengab tidak ada jendela, dengan kasur lajang setipis-tipisnya itulah kami tinggal. Tidak ada honey moon di hotel mewah atau apapun. Saat itu suami saya sampai sedih karena dia merasa tidak bisa membahagiakan saya. Saya nya mah bilang, tidak apa-apa, saya kan tidak nuntut itu. Kalo saya nuntut itu pasti saya gak akan milih abang, udah tahu miskin ngapain saya pilih. Ceplos saya…akhirnya suami pun tertawa iya juga ya. Tapi waktu itu tetap aja ada rasa sedikit sedih, masa honey moon nya begini ya gak kayak kisah Cinderella (karna saya masih manusia kelezzzz) Rasa itu harus ditepis karena inikan keputusan saya sendiri untuk menikah dengan orang yang saya cintai. Bukan karena harta, bukan karena jabatan dan bukan karena harta warisan…Niatnya membangun keluarga sakinah mawaddah.

Enam bulan tinggal dirumah kost, akhirnya kami bisa menyewa rumah seiring dengan diterimanya saya bekerja dengan gaji lumayan cukup sebagai peneliti lapangan dan suami juga bekerja dengan gaji yang lebih dari cukup untuk kami berdua. Sedikit demi sedikit kehidupan mulai membaik. Dua tahun menikah baru dipercayakan memiliki anak. Tiga tahun menyewa rumah, akhirnya kami bisa membeli rumah tipe 45. Lima tahun menikah kami memiliki anak kedua. Meskipun saat ini masih dengan sepeda motor untuk berempat kami sangat menikmatinya dan bersyukur. Jika kami balik mengingat masa-masa perjuangan menikah, kami akan tertawa lucu karena mengingat semuanya. Ya semuanya diawali dari keterbatasan dana, keterbatasan tempat, keterbatasan sumber daya. Kami hanya punya keyakinan bahwa rezeki anak manusia sudah ada tinggal bagaimana caranya kita menyiapkan tool untuk mengambilnya.

Waktu memutuskan menikah saat itu tanpa kemapanan apapun, kami hanya bermodalkan keyakinan dan niat bahwa yang kami lakukan untuk mencapai Ridha Tuhan.

Jadi bagi yang ingin menikah tapi tidak punya dana jangan takut dan berputus asa. Jika menikah diniatkan karena Allah SWT, maka Allah akan membantu kita. Hanya saja kita yakin tidak dengan pertolongan-Nya. Yuk….jangan takut menikah….perbaiki niat dan teruslah berusaha dan belajar dari proses kehidupan.

Menikah bukan soal mapan atau tidak tetapi menikah soal tujuan jangka panjang....

Alhamdulillah 10 tahun sudah dilalui dengan berbagai suka dan duka serta peristiwa. Hanya berdoa semoga perjalanan ini sampai ke terminal akhirnya nanti bersama, berdua. Aamiin

Thanks buat teman-teman di Matahari dulu, kalian tetap kan ku ingat sepanjang waktu


Kamis, Agustus 06, 2015

MAMPUKAH IBU BEKERJA MENDIDIK ANAK DENGAN BAIK? (Berdasarkan Pengalaman Pribadi)



Pertanyaan di atas terus menghantui hidupku dan memberikan rasa was-was di hatiku apakah aku mampu bekerja dengan baik sekaligus mendidik anak-anakku dengan baik (memiliki perilaku dan akhlak yang baik). Hal ini semakin membuat tersiksa saat aku mulai mengenal ilmu parenting dan banyak membaca buku-buku panduan mendidik dengan baik. Ditambah dengan ulasan-ulasan dari pakar parenting islami yang membawa ayat-ayat Al-Qur’an dan menempatkan sebaik-baik ibu adalah berada di rumah dan menjadi madarasah pertama anaknya. Belum lagi nyinyiran di media social yang mengecam ibu bekerja dan mengagung-agungkan ibu yang tidak bekerja dan full di rumah.

Serasa diri ini adalah seorang ibu yang jahat, egois, tidak baik, ibu tidak terhormat, lebih mementingkan dunia dan sebagainya. Kepala mau pecah rasanya saat cemohan-cemohan terhadap ibu bekerja yang seolah-olah dan sekonyong-konyong dilabelkan tidak mampu mendidik anak dengan baik karena ibu bekerja tidak memiliki waktu banyak dengan anak-anak. Kemudian muncul lagi ulasan-ulasan yang membahas bahwa kuantitas waktu bukan ukuran yang penting kualitas waktu bersama anak yang membela ibu bekerja. Jujur ini menjadi salah satu penyejuk di hati bahwa ternyata ibu bekerja bisa memaksimalkan waktu dengan tidak mengabaikan bahwa kuantitas waktu juga penting.

Sekian lama bergejolak perasaan bahwa saya tidak menjadi ibu yang baik karena bekerja, dan keinginan untuk terus resign yang membuat kadang sering merasa uring-uringan tidak menentu. Akhirnya setelah sekian banyak saya membaca buku terkait buku-buku parenting untuk ibu yang tidak bekerja dan parenting untuk ibu yang bekerja akhirnya saya bisa berdamai dengan diri saya sendiri. Saya berusaha menerima keadaan bahwa saya memang tidak bisa resign saat ini. Meskipun saya kadang menangis saat anak saya hampri setiap hari di kala bangun pagi “ Bunda, hari ini libur atau tidak? Dengan perasaan berkecamuk di dada dan senyuman di wajah saya menjawab “Hari ini masih bekerja sayang, insya Allah beberapa hari lagi libur ya Nak.” Sambil memeluk dan mencium dan berusaha agar air mata ini tidak tumpah. Dengan cerianya anak saya menghitung di jari manisnya berapa lama lagi saya akan libur dan menemaninya. 

Tentu setiap ibu bekerja akan merasakan perasaan yang sama seperti yang saya rasakan. Tidak ada satupun ibu yang waras di dunia ini yang tidak ingin mendidik anaknya menjadi anak yang berakhlak mulia begitupun dengan ibu bekerja.

Tapi memang tidak bisa dipungkiri fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak ibu bekerja yang menyerahkan pendidikan anaknya murni ke sekolah dan ke asisten rumah tangga. Ketika anak sudah disekolahkan di sekolah yang mahal maka menjadi tugas sekolah untuk mendidik anaknya dengan baik, sedangkan para ibu bekerja lepas tangan sama sekali dan hanya tahu menuntut anak-anaknya untuk belajar yang rajin tanpa peduli dengan perasaan anak-anaknya apakah hari ini mereka senang, sedih, berduka, bahagia, pusing, bingung dan sebagainya.  Pulang bekerja ibu hanya menanyakan PR yang belum diselesaikan. Jika anak meminta perhatiannya langsung memanggil asisten rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan si anak. Akibatnya anak merasa tidak diterima kehadirannya dan dipahami perasaan orang tuanya dan banyak anak yang mengaktualisasikan perasaan kecewanya kepada hal-hal yang negatif misalnya berperilaku membangkang perintah orang tua, berbohong, mencuri, merokok, pengguna narkoba, dll. 

Kenyataan di atas juga yang membuat saya khawatir terhadap perilaku anak saya. Oleh karena itu saya berusaha menemukan pola tersendiri dengan banyak membaca mengenai parenting sehingga walaupun saya bekerja saya masih memiliki waktu untuk mendidik anak-anak saya sendiri dan memiliki kedekatan emosional dengan mereka.

Ada beberapa hal yang saya lakukan :

Pertama menguatkan visi misi berkeluarga. Saya dan suami membahas sebenarnya mau ke mana rumah tangga ini di bawa. Kami merumuskan tujuan bersama. Setelah itu kami mendiskusikan jalan keluar untuk mencapai tujuan itu dengan segala kelemahan yang kami miliki.

Kedua  Saling Bekerjasama, Berkomunikasi dan Berdiskusi untuk mencapai tujuan bersama. Beruntungnya saya dan suami memiliki visi misi yang sama. Karena saya dan suami bekerja, suami dengan sukarela membagi urusan domestic dalam hal ini mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mendidik anak-anak. Karena jam kantor saya lebih kaku dibandingkan suami, maka untuk urusan yang saya tidak bisa di handle oleh suami. Ketika suami tidak bisa maka giliran saya minta ijin atasan untuk mendampingi dan mengurus rumah tangga dan anak-anak. Jadi waktu untuk menemani dan mendampingi aktivitas anak-anak di sekolah dan dirumah selalu didiskusikan siapa yang paling memungkinkan bisa mendampingi mereka saat jam kantor dengan menimbang urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Begitu juga misalnya saat saya atau suami dinas keluar kota, maka kami akan membicarakan hal-hal terkait dengan anak-anak. Kalo memang tidak bisa minta ijin dari atasan maka saya atau suami akan mengambil cuti tergantung dengan situasi pekerjaan masing-masing.  Tapi sepanjang pengalaman saya kalo sering ijin atasan juga tidak enak, maka saya atau suami akan mengambil cuti untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan pendampingan orang tua. Apapun itu semua didiskusikan dengan baik.

Ketiga melibatkan keluarga besar. Salah satu yang membuat saya bersyukur karena saya tinggal dengan ibu dan adik saya juga dekat dengan adik ipar, maka kami sangat terbantu sekali dengan keterlibatan mereka mendampingi anak-anak kami baik di sekolah maupun di rumah. Bagaimanapun saya tetap lebih merasakan kelegaan dan kenyamanan bila anak-anak di tinggal dengan keluarga. Saya masih bisa merasakan perasaan tidak nyaman saat anak di asuh asisten rumah tangga saja tanpa ada yang mendampingi dan saat anak saya di titipkan di penitipan. Hal yang saya lakukan setiap pulang kerja baik saat anak saya dengan asisten rumah tangga, saat di penitipan, maupun sama nenek dan adek-adek saya biasanya saya akan menanyakan perasaan mereka hari ini, apa saja yang anak-anak lakukan di rumah, apa yang membuat mereka merasa lebih senang, sedih dan tidak nyaman. Sehingga kebiasaan bercerita saat saya dan suami pulang kantor menjadi sesuatu yang mereka nanti-nantikan. Sekarang tanpa diminta anak-anak akan menceritakan apa yang mereka alami sepanjang pagi hingga sore sebelum saya pulang. Dan kami pun merespon dengan pembicaraan yang panjang bahkan temanya bisa melebar menyimpang dari aktivitas yang mereka lakukan sebelumnya. Dan hal ini yang paling kami sukai, karena rumah bakalan ramai dengan intonasi, mimik, tanggapan-tanggapan yang kadang membuat wajah tersenyum, keheranan, kekaguman, kesedihan dan sebagainya. Dan tanpa disadari pembicaraan dengan anak-anak menjadi relaksasi dari kejenuhan pekerjaan di kantor. Tiada yang paling menyenangkan melihat anak-anak antusias bercerita dengan gaya bercerita khas masing-masing.

Keempat Menyediakan berbagai jenis buku di rumah. Sebagai anak yang kedua orangtuanya juga bekerja membuat saya jadi bisa merasakan apa yang dirasakan anak-anak saya. Oleh karena itu saya ingin  anak-anak mempunyai teman lain yaitu buku-buku yang saya perkenalkan sejak mereka masih  bayi. Karena apapun itu saya tidak bisa bohong kalau anak-anak merasa kesepian. Untuk itu saya menyediakan budget setiap bulan untuk membeli buku-buku. Baik di beli satuan maupun yang paket, Di beli secara cash, cicilan ataupun arisan. Sampai saat ini kalo di hitung-hitung budget untuk buku anak-anak lebih besar dari budget saya membeli baju, tas, sepatu dan lain-lain. Karena saya sudah merasakan banyak manfaat membaca buku, maka saya ingin anak-anak juga merasakan hal yang sama dan saya menciptkan lingkungan agar anak gemar membaca. Mulai saat bayi saya membacakan buku-buku sebelum tidur, saat santai dan kapanpun mereka mau. Saya juga berdongeng dengan intonasi yang membuat anak-anak senang, mimik yang mendukung dan sebagainya. Apakah saya seorang pendongeng? Sebenarnya saya sangat pemalu dan tertutup tetapi demi anak-anak saya belajar bagaimana cara mendongeng. Mungkin saya bukan pendongeng yang baik, tapi setidaknya usaha saya berhasil membuat anak-anak selalu ingin mendengar saya mendongeng. Itu salah satu indicator bahwa usaha saya tidak sia-sia. Ternyata usaha saya tidak sia-sia pengenalan terhadap buku dan kegiatan mendongeng sudah mulai terlihat. Anak-anak saya tiada hari tanpa membaca. Ketika mereka telah bosan bermain-main mereka akan masuk ke kamar dan mengambil buku. Dan saat pulang kantor maka saya dan suami akan menyaksikan pemandangan luar biasa, kamar penuh dengan buku, ada yang di atas tempat tidur, di lantai, menumpuk di berbagai sisi. Saya merasakan senang karena anak-anak berarti membaca buku tapi kadang kalo lelah saya merasa jengkel dan menarik napas panjang menghilangkan kejengkelan dan bersama anak-anak mengembalikan buku-buku tersebut ketempatnya. Tapi itu dulu, saat ini kami telah membuat perjanjian bahwa selesai membaca anak-anak harus mengembalikan buku-buku ataupun mainan ke tempatnya semula. Dan berhasil diusia anak pertama 8 tahun dan anak kedua 5 tahun mereka sudah mampu bertanggungjawab dengan perbuatannya. Dan ini bukan pekerjaan semalam, memupuk rasa tanggung jawab anak satu demi satu. 

Kelima Saya memilih sekolah yang memiliki visi misi yang sama dan bisa bekerjasama dengan kami orang tua dan anak-anak. Akhinya kami menemukan sekolah semi home schooling dengan metode pembelajaran melibatkan 80 persen keterlibatan orang tua dalam proses belajar mengajar anak baik di sekolah maupun di rumah. Untuk Banda Aceh tidak mudah menemukan sekolah yang mengerti anak dan orang tua.  Kurikulum yang fleksibel, aktivitas out door yang menyenangkan, metode mengajar yang beragam dan menyenangkan, project-project otomatis membuat kami lebih terikat dengan anak. Tetapi hal ini membuat saya senang. Karena saya menemukan partner yang mampu menerjemahkan visi misi saya dan menajadi partner saya dan suami saat kami bekerja. Kedekatan saya dengan anak tidak hilang, meskipun saya dan suami harus pontang panting mengatur schedule dan melupakan hobbi kami masing-masing karena pastinya kami lebih focus untuk kegiatan anak-anak dan selalu bersama mereka di setiap sabtu dan minggu. Dan tentunya hidup adalah pilihan karena kami memilih untuk selalu bersama dengan anak-anak di waktu libur dan mengurangi aktivitas kongkow-kongkow dengan teman sejawat. Kalopun ada reunian dengan teman-teman jika memungkinkan anak-anak tetap harus dibawa. Ini salah satu komitmen kami untuk mengoptimalkan waktu libur bersama tanpa meninggalkan anak-anak. Beruntungnya kami menemukan guru-guru yang dapat diajak kerjasama dan menemukan keluarga baru dari para orang tua murid lainnya yang memiliki visi misi yang sama menjadikan hubungan ini tidak hanya sebatas hubungan teman anak di sekolah tetapi sudah seperti bagian dari keluarga sendiri. JIka yang lain bahagia maka kita bahagia tetapi jika yang lain sedih maka kita juga turut merasakannya. Tapi tidak mudah menjalin hubungan ini tetap ada saja yang tidak bisa merangkul semuanya. Dan hal itu tidak menjadi suatu keharusan karena ini adalah hal yang alamiah karena tidak mungkin kita bisa membuat semua orang menyukai kita dan kita juga tidak mungkin bisa menyukai semua orang. Yang harus dijaga adalah bahwa kita tidak pernah berniat untuk melukai dan menyakiti siapapun dan menjaga agar jangan sampai terjadi. 

Keenam Memiliki tim yang solid di tempat kerja. Mau tidak mau kita membutuhkan teman solid di tempat kerja kita. Karena apapun mereka lah yang akan mengerti dan mau memback up kita saat kita butuh ijin dari kantor dan mau mengambil alih pekerjaan kita saat kita tidak berada di kantor. Karena kita tidak bisa hidup sendiri, urusan kita bukan hanya urusan pekerjaan saja tetapi juga urusan rumah tangga dan sosial. Jadi kita juga harus bisa memiliki sifat saling menolong dan empati satu sama lain. Dan saya bersyukur karena diberikan teman-teman yang penuh pengertian dan baik-baik. Meskipun saya merasa orang yang susah bergaul dan beradaptasi, tapi saya tetap berusaha untuk tetap bisa berkomunikasi dengan baik. Dan ternyata usaha saya berhasil, karena saat saya bilang saya tertutup orangnya, teman-teman saya pada tidak percaya. Artinya saya sudah mampu mengatasi kelemahan saya yang tidak diakui oleh orang lain dan ini bukan perkara yang mudah. Karena saya harus keluar dari diri saya sendiri yang sebenarnya lebih menyukai kesendirian. Dan senang karena usaha saya untuk dapat berinteraksi dengan baik ini akhirnya membuahkan hasil dan saya banyak mendapat teman-teman yang bukan sekedar baik tapi memang baik ditempat kerja dimanapun saya berada. Saya percaya bahwa kalo kita baik maka balasan yang kita dapatkan juga kebaikan, karena apa yang kita tabur itulah yang kita tuai. 

Ketujuh NO SIARAN TV DI RUMAH. Ini saya buat huruf besar karena ternyata memang sangat berpengaruh sekali dalam pembentukan karakter dan perilaku anak. Keluarga kami baru setahun meniadakan siaran TV di rumah. Awalnya sangat sulit melakukan hal ini karena ada orang tua di rumah yang saya merasa tidak enak kalo saya meniadakan TV di rumah. Saya kasihan kepada ibu saya karena kalo tidak ada siaran TV akan merasa kesepian. Ternyata tidak hanya ibu saya saja yang menonton tetapi anak-anak juga. Dan mereka sering menirukan adegan, iklan atau apapun yang mereka tonton dan ini membuat saya semakin khawatir. Anak-anak sangat sulit diajak bicara dan banyak meniru perilaku di adegan sinetron baik mimik wajah saat marah, sedih, intonasi suara ketika marah dan nangis, kata-kata yang dikeluarkan dan semakin meyakinkan saya bahwa keadaan ini sudah gawat darurat. Memang masih bisa diajak bicara tetapi membutuhkan waktu lama untuk membuat situasi kembali normal.

 Karena saya dan suami bekerja maka kami tidak bisa mengontrol penggunaan TV.  Pengurangan ini kami lakukan secara bertahap. Pertama dengan membatasi siaran-siaran TV yang boleh di akses. Tapi ternyata tidak berhasil juga, karena iklan yang ditayangkan juga banyak yang tidak mendidik. Kami juga mengganti dengan CD-CD yang edukatif tapi anak-anak tetap juga menonton siaran TV jika sudah bosan dengan CD.  Selanjutnya usaha kami mencabut kabel yang menyambungkan dengan tiang TV, tapi gak berhasil juga. Karena menurut saya situasi sudah gawat dan kalo dibiarkan akan menjadi bahaya karena anak menjadi individu yang memiliki kepribadian ganda. Di sekolah menjadi anak yang baik tetapi di rumah kelakuannya seperti di sinetron. Akhirnya kami memutuskan untuk no siaran TV dan sekalian TV pun dijual. Ternyata dengan tiadanya TV bukan anak-anak yang susah tapi orang tua, termasuk suami yang awalnya berat karena tidak bisa menonton siaran sepakbola, olahraga, berita di rumah. Dan tentunya ibu saya juga sedih. Tapi saya dan suami harus memilih menyelamatkan anak-anak kami atau mengikuti kesenangan orang dewasa dengan mengorbankan perilaku mereka menjadi tidak terarah. 

Dan akhirnya saya sangat lega karena berhasil menyingkirkan TV di rumah. Dan ini membawa dampak positif bagi anak saya. Waktu mereka bermain dengan teman-temannya di luar rumah, di alam, bermain permainan tradisional, membaca buku menjadi lebih banyak frekuensinya. Bahkan bermain congklak menjadi favorit anak saya dan ibu saya. Bahkan yang membuat terharu, ibu saya juga jadi mempunyai waktu membaca buku dengan anak-anak dan untuk dirinya sendiri. Bahkan kami sekeluarga setelah sholat isya sering bermain bersama main ludo, main congklak, main mainan yang di bawa anak kami dari sekolah dan diajarkan, membaca bersama, berdongeng, bermain kuda-kudaan, menghapal ayat qur’an bersama dan tertawa bersama.  Tanpa siaran TV menjadikan hidup kami lebih berwarna dan ceria dengan berbagai macam aktivitas bersama yang dilakukan dengan riang dan gembira.  

Kedelapan Sabtu Minggu orang tua adalah milik anak. Khusus untuk sabtu minggu dimana tidak ada kegiatan dari sekolah anak-anak maka kami akan menghabiskan waktu bersama baik keluar rumah ataupun di rumah. Mulai dari bangun pagi kami jalan-jalan pagi, sarapan bersama, aktivitas di rumah bersama, bermain bersama, membaca bersama, bercanda hingga jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat yang menarik. Dikarenakan komitmen ini sampai-sampai suami saya dianggap hilang dari peredaran oleh teman-temannya. Karena dulunya sebelum menikah suami saya adalah salah satu ketua organisasi kemahasiswaan tingkat provinsi tiba-tiba setelah menikah tidak aktif di organisasi manapun dan jarang duduk di warung kopi dengan teman-teman seangkatannya. Dan mungkin ada yang mengangap kasihan suami saya karena karir politiknya mati dikarenakan tidak sering kongkow dengan para politikus negeri ini. Tapi bagi kami hidup ini adalah sebuah pilihan. Kami memilih untuk mendampingi tumbuh kembang anak-anak kami sampai mereka mampu menjalankan peran peradabannya dan memilih jalur pendidikan dan social untuk pengabdian kami. Dan kita masing-masing harus menghargai pilihan hidup orang lain karena kita hidup dengan misi masing-masing dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada peran yang paling dominan dan paling terhormat. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia di sekitarnya.

Dan melalui tulisan ini saya berbagi kepada para ibu bekerja bahwa ketika kita tidak mampu resign dari pekerjaan kita dengan berbagai macam alasan maka bukan berarti kita tidak bisa menjadi ibu yang baik dalam mendidik anak-anak kita. Karena ibu bekerja dan tidak bekerja bukan jaminan mampu mendidik anak dengan baik. Karena banyak juga kita jumpai bahwa ibu rumah tangga tanpa bekerja pun belum tentu mampu mendidik anak dengan baik. Pilihan itu ada di kita apakah kita mau dan mampu melakukannya dengan segala keterbatasan dan usaha keras kita. 

Apapun pilihan kita bekerja atau menjadi ibu rumah tangga tetaplah belajar dan selalu belajar. Banyak membaca, diskusi dan menganalisa tentang cara-cara yang terbaik buat keluarga kita dengan kondisi keluarga kita tentunya. Karena tidak semua metode cocok diterapkan tetapi kita tahu dasarnya. Jika kita membaca, mencoba mempraktekan, menganalisa maka dengan sendirinya kita akan menemukan metode yang cocok untuk mendidik anak kita dengan situasi kita masing-masing. 

Apakah saya sudah menjadi ibu yang baik dalam mendidik anak-anak saya?  Saya tidak membutuhkan jawabannya Karena saya akan melakukan usaha terbaik saya dengan kondisi saya bekerja untuk mampu mendidik anak-anak saya dengan baik. Dan tak lupa saya berdoa agar Allah memampukan saya untuk menjaga amanahnya dan menolong saya disaat saya tidak mampu dan putus asa dari ketidakmampuan dan keterbatasan saya. Saya yakin Allah akan memberikan yang terbaik kepada kita karena Allah melihat kerja keras kita dan kesungguhan kita. Allah sesuai dengan persangkaan hamba-Nya. Jika kita yakin Allah akan membantu kita, makan kita akan merasakan pertolongan itu sangat dekat dan nyata. 

Dan saat ini saya merasakan, anak-anak saya selalu memeluk, mencium dan mendekap saya. Dan saya bisa merasakan kecintaan mereka dan saya juga berharap mereka juga merasakan kecintaan dan usaha sungguh-sungguh dari saya untuk menjadi ibu yang baik. Dan kita pasti tahu di balik suksesnya seorang suami ada support dari istri dan sebaliknya di balik suksesnya seorang istri maka ada support suami di sana. Dan salah satu keberuntungan saya memiliki suami yang mensupport saya dalam rumah tangga dan karir pekerjaan saya. 

Ini adalah langkah-langkah utama yang saya lakukan sebagai ibu bekerja dan juga berusaha mendampingi tumbuh kembang anak saya dengan baik. Ini bukan justifikasi bahwa ibu bekerja bisa mendidik dengan baik. Ini adalah usaha dari seorang ibu bekerja yang tidak bisa resign dengan berbagai alasan tetapi berusaha untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anak dengan segala keterbatasan dan potensi yang ada di dirinya. Mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi bagi ibu-ibu bekerja bahwa kita bisa melakukan yang terbaik sepanjang kita mau, belajar dan terus bekerja keras untuk menemukan formula yang tepat. Akhirnya semangat buat para ibu bekerja, kita semua sama merasakan kegalauan yang sama dan ingin menjadi sempurna. Tapi yakinlah usaha dan kerja keras kita menuju kesempurnaan akan berbuah manis. Hidup tetap akan berproses, perjalanan masih panjang mengantarkan anak-anak kita menjalani peran peradabannya. Semangat….tetap semangat…..(menyemangati diri sendiri J)



Senin, Juni 01, 2015

SELAMAT PAGI BAPAAAAAK…….



Senin, 1 Juni 2015 pagi-pagi sekali suami pergi ke Bank BCA untuk melakukan penyetoran ke rekening. Jam sudah menunjukkan pukul 07.57 Menit.  Begitu mau menaiki tangga menuju bank, petugas Satpam menegur  dengan ramah memberitahukan bahwa para karyawan BCA sedang melakukan briefing. Diminta kepada suami untuk menunggu sebentar di bawah.

Dengan  perasaan sedikit dongkol, suami pun mengeluh. Kan sudah mau hampir pukul 08.00 wib tetapi kok belum siap melayani dan di suruh menunggu.  Tentunya menjadi bad mood.
Sekitar pukul. 08.03 wib  seorang karyawan bank datang menjemput dan mengatakan “biar saya antar ke atas Pak?” lalu suami bertanya “mengapa harus diantar?”, karena ada penyambutan Pak, jawabnya. Dalam hati suami bingung penyambutan apa. 

Begitu tiba dilantai dua, tiba-tiba suami surprise melihat para karyawan dan karyawati berdiri seluruhnya menghadapnya . Belum selesai kebingungan melanda, tiba-tiba terdengar suara bersamaan mengucapkan “Selamat Pagi Bapaaaaaak” sambil mensedekapkan tangan di dada dan senyum mengembang di wajah. Sontak suami kaget karna tidak menyangka mendapatkan perlakuan seperti itu. Karena bukan hanya teller atau cs saja yang berdiri menyambutnya, tetapi ada empat orang petinggi Bank sepertinya terlihat dari cara berpakaian dan name tag yang berbeda berjejer rapi melakukan hal yang sama di depan suami.

Suami sempat bingung dengan adegan singkat tadi. Kemudian para teller langsung mengambil alih dengan memanggil suami untuk bisa memilih mau di teller berapa melakukan penyetoran.  Sesampai di teller, suami pun bertanya, “kenapa dilakukan penyambutan seperti itu?” Ini merupakan salah satu penyambutan bagi nasabah pertama kami  setiap pagi. Kalo hari Jumat akan dilakukan dua kali, pagi hari dan setelah sholat jum’at.”ujarnya.

Suami sangat surprise dengan penyambutan singkat yang dilakukan para karyawan BCA tersebut. Bad Mood yang sempat dirasakan karena menunggu hilang seketika karena mendapatkan penghargaan yang sederhana tetapi bagi nasabah yang baru pertama sekali mendapatkan perlakuan seperti itu pasti sesuatu banget gitu loh…

Suami sering menjadi nasabah pertama di bank –bank lain milik BUMN tetapi pegawainya cuek saja. Belum siap melayani tetapi sudah di buka pelayanan dan di suruh antri tanpa menunggu kepastian waktu. Beda sekali dengan Bank BCA ini ujar suami, karena mereka benar-benar harus siap dahulu baru membuka pelayanan.

Ternyata di mana-mana sama ya ketika kita memberikan pelayanan kepada orang lain dengan baik, maka orang yang dilayani akan merasa senang dan bahagia. Sungguh benar kata Rasulullah bahagiakanlah saudaramu dengan senyuman dan perkataan yang Baik…Sekali lagi dingatkan ternyata justru yang menegakkan ajaran Rasulullah perusahaan yang notabene pemiliknya bukan muslim. Dan yang muslim hanya tahu sebatas teori saja tanpa aplikasi nyata.

Bukankah Rasulullah di utus untuk menyempurnakan akhlak? Menjadi PR lagi untuk bisa memberikan senyuman dan perkataan yang baik.

Tetapi akan menjadi banci ketika di satu sisi disuruh memberikan pelayanan terbaik tetapi di sisi lain di suruh melakukan penegakan hukum…kalo paragraph terakhir ini curcol ya…hehehe

LELAKI TUA PEMETIK DAN PENJUAL MANGGA

Sabtu, 30 Juni 2015 saatnya berburu barang kebutuhan dapur untuk seminggu ke depan. Selain belanja kebutuhan utama, biasanya saya dan suami selalu belanja buah2an lokal. Karena saya pelaku Food Combining (FC) yang mengharuskan sarapan dengan beberapa jenis buah. Pasar tradisional menjadi sangat menyenangkan bagi perburuan buah yang saya lakukan. Karena saya akan mendapatkan buah yg masih alami berasal dari kebun para penjualnya.

Kebetulan bulan ini syurganya bagi para pencinta buah mangga. Ya salah satunya saya. Buah mangga yang dibeli pada pedagang kaki lima di pasar tradisional biasanya buah mangga yang masak langsung di pohonnya. Kulitnya menunjukkan warna kekuning-kuningan begitu di buka, laziz....manis banget beda kalo kita beli di pedagang khusus buah biasanya masak karena di peram.

Kali ini saya tidak ingin bercerita tentang buah mangga, tetapi yang ingin saya ceritakan tentang penjual mangga itu sendiri. Salah satunya Lelaki Tua penjual mangga tersebut. Sangat menyesal saya lupa mengingat namanya. Sabtu kemarin kali kedua membeli mangga di tempat Bapak tsb karena merasa puas dengan buah mangga yang manis dan ranum.

Interaksi kedua kali ini waktunya sangat singkat tetapi kami masih sempat mendapatkan penjelasan ttg asal mangga tsb. ya dugaan kami ternyata benar bahwa mangga yang dijajakan masak di pohon. Setiap hari si Bapak menjajakan mangga dengan membawa dua keranjang rotan besar. Kadang2 satu keranjang sesuai dengan banyaknya buah yang sudah matang di pohon.

Ternyata buah mangga tsb adalah milik si Bapak sendiri. Berasal dari pohon2 mangga yang di tanam di kebunnya seluas 6 ha. Wow...kami sempat terkejut, luas sekali kebun yang dimiliki si Bapak. Diceritakan bahwa kebunnya sudah di tawar pengusaha dihargai sederetan ruko ditepi jalan utama. Kt si Bapak, kalo dia mau jual tanahnya kekayaan di milikinya mencapai 20 Milyar ya karena letaknya sangat strategis masih di kota dekat dengan jalan utama. Tetapi si Bapak tidak mau menjualnya.

"Saya senang menjual mangga, katanya. Dari hasil mangga inilah saya bisa menyekolahkan anak-anak saya, ujarnya bahagia dan bangga. Sekarang mereka sudah bekerja semua ada yang pegawai pemda, pegawai PLN dll. Anak-anak saya sudah melarang saya jualan, tapi saya tetap jualan karna saya suka. Saya yang petik mangga ini sendiri dan saya yang jual. Sudah banyak pedagang pengumpul yang menawar membeli mangga saya, tapi saya tidak mau jual, ujarnya.
Karena selagi saya mampu, akan saya petik sendiri dan saya jual sendiri. SAYA SENANG MELAKUKANNYA DAN SAYA BAHAGIA. Ujarnya.

Saya tertegun mendengarkan kalimat terakhir si Bapak, "saya senang melakukannya dan saya bahagia"...menohok sekali bagi saya.  Bagi sebagian orang saat ini yang memiliki tanah luas umumnya pasti akan memilih menjualnya dan membagi-bagikan harta kemudian hidup dengan menghabiskan uang tersebut. tetapi bagi Bapak tsb, harta bukanlah segalanya. Bapak ini memiliki passion hidup yang membuat jiwanya tenang dan bahagia ya hanya dengan "memetik mangga sendiri dan menjualnya sendiri" adalah kunci kebahagiaannya. usianya yang sudah tua dan memiliki harta tidak membuatnya lalai dan berfoya-foya tetapi tetap hidup dengan kerja keras, sederhana dan low profile.

Saya jadi tertegun, mungkin bagi orang lain, profesi pemetik mangga dan penjual mangga adalah profesi rendahan, tetapi bagi Bapak tsb profesi itu adalah panggilan jiwanya yang membuatnya tetap tersenyum dan bahagia menjalaninya.

Sekali lagi saya belajar tentang passion dari seorang lelaki tua penjual mangga.
Ketika passion itu sudah ada di diri kita, pekerjaan apapun akan kita lakukan dengan jiwa bahagia

#belajardarikehidupan

Menikah Belum Mapan? Siapa Takut?

Beberapa hari lalu di timeline fb saya ada yang memposting isinya “Beruntunglah bagi pasangan yang telah menikah dan mereka berdua memulain...